Jumat, 29 Maret 2013

Abdurrahman Al-Ghafiqi, Terulangnya Duka di Perang Uhud (5 – habis)

Pada hari-hari berikutnya pertempuran berlangsung makin seru. Kaum muslimin menggempur pasukan Perancis dengan ganas dan berani. Perang berlangsung selama tujuh hari dengan dahsyat dan seru. Pada hari kedelapan kaum muslimin melancarkan serangan mendadak sehingga mereka dapat melumpuhkan barisan tengah. Waktu itu, kaum muslimin melihat cahaya kemenangan seperti cahaya subuh yang nampak di kegelapan.
Namun waktu itulah, sekelompok tentara Perancis menyerang gudang penyimpanan harta rampasan kaum muslimin. Ketika kaum muslimin melihat harta rampasannya hanpir berada di tangan musuh, banyak dari mereka yang kembali. Barisan tentara kaum muslimin menjadi kocar kacir. Panglima Al-Ghafiqi memompa semangat pasukannya untuk terus menyerang dan menutup celah-celah yang dapat ditembus musuh.

Abu Nawas dan Kisah Enam Ekor Lembu yang Pandai Bicara

Pada suatu hari, Sultan Harun al-Rasyid memanggil Abu Nawas menghadap ke Istana. Kali ini Sultan ingin menguji kecerdikan Abu Nawas. Sesampainya di hadapan Sultan, Abu Nawas pun menyembah. Dan Sultan bertitah, “Hai, Abu Nawas, aku menginginkan enam ekor lembu berjenggot yang pandai bicara, bisakah engkau mendatangkan mereka dalam waktu seminggu? Kalau gagal, akan aku penggal lehermu.
“Baiklah, tuanku Syah Alam, hamba junjung tinggi titah tuanku.”

Abdurrahman Al-Ghafiqi dan Pertempuran Balathu Asy-Syuhada (4)

Jatuhnya kota Bordeaux ke tangan kaum muslimin merupakan batu loncatan bagi kejatuhan kota-kota penting lainnya, antara lain, Lyons, Bourbonnais dan Cannes. Kota terakhir ini terletak sekitar seratus mil dari Kota Paris. Seluruh kota terguncang atas jatuhnya sebagian besar wilayah Prancis bagian selatan ke tangan Panglima Abdurrahman Al-Ghafiqi, hanya dalam waktu beberapa bulan. Al-Ghafiqi bahkan dapat membebaskan beberapa daerah itu hanya dalam satu gebrakan.
Kini, di setiap tempat di Eropa ramai terdengar seruan untuk menghentikan bahaya yang datang dari timur itu. Seruan itu menghimbau seluruh penduduk Eropa untuk membendung bahaya dari timur itu “dengan dada jika pedang telah jatuh”,  dan “mwnutup jalan di depannya dengan anggota badan ketika alat perang telah habis.” Seluruh Eropa memenuhi seruan itu. Mereka berkumpul di bawah pimpinan Karel Martel.

Abdurrahman Al-Ghafiqi dan Bala Tentara yang Cinta Syahid (3)

Ketika permohonan Abdurrahman Al-Ghafiqi datang kepada Utsman untuk menyerang daerah kekuasaan ayah Minin, ia merasa bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di satu sisi ia harus mengamankan daerah itu, karena terikat perjanjian dengan ayah Minin, tapi di sisi lain ia harus memenuhi permohonan Al-Ghafiqi. Akhirnya, pilihan pertamalah yang diambl oleh Utsman. Ia segera menulis surat balasan kepada Al-Ghafiqi, ia beralasan bahwa ia tidak dapat memenuhi perintah tersebut karena telah terikat perjanjian dengan Raja Aquitane, dan ia tidak bisa merusak perjanjian dengannya sebelum masa perjanjian itu habis.
Surat balasan itu membuat Abdurrahman Al-Ghafiqi geram. Iapun kemudian mengutus seseorang untuk menyampaikan surat kepada Utsman. Dalam surat itu Al-Ghafiqi menekan Utsman agar melaksanakan perintahnya tanpa ragu-ragu, karena perjanjian antara Utsman dan Raja Perancis itu dibuat tanpa sepengetahuan Gubernur Muslim yang membawahi Utsman.

Abdurrahman Al-Ghafiqi: Kata-kata dan Perbuatan (2)

Setiap kali mengunjungi daerah kekuasaan kaum muslimin, dia selalu mengajak orang-orang untuk shalat berjemaah. Ia juga menganjurkan mereka untuk terus berjihad, dan menyemangati mereka agar selalu mengharapkan ridlo Allah swt dan berbahagia dengan pahalanya. Ucapan Abdurrahman Al-Ghafiqi selalu disertai dengan perbuatan. Jika ia bercita-cita selalu disertai dengan usaha. Maka langkah pertama untuk memperkuat daerah kekuasaannya adalah dengan mengadakan persiapan dan melengkapi persenjataan, memperbaiki kamp tentara yang berdekatan dengan daerah musuh, membangun benteng-benteng, membangun jembatan. Diantara jembatan terbesar yang ia bangun adalah jembatan Qurthubah (dalam literatur Inggris disebut Cordova), ibukota Andalusia (kini Spanyol).

Abdurrahman Al-Ghafiqi: Tombak yang Selalu Terhunus (1)

Suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz melakukan evaluasi menyeluruh terhadap berbagai kebijakan khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Abdul Malik. Ia meninjau ulang para Gubernurnya di berbagai daerah. Sebagian tetap pada kedudukannya, sebagian lagi diganti dengan pejabat baru.
Orang pertama yang diangkat sebagai Gubernur adalah Samh bin Malik Al-Khaulani. Ia dipercaya untuk menangani berbagai daerah dan kota yang telah dibuka. Gubernur ini lantas mengunjungi Andalusia untuk mengecek kondisi penduduknya. Dalam kesempatan itu, ia menyempatkan diri mencari apakah masih hidup ulama dari kalangan Tabi’in. Ternyata masih ada, yaitu Abdurrahman Al-Ghafiqi.

Pangeran Diponegoro, Menentang Keraton yang Mendukung Penjajah (Habis)

Pada tanggal 5 April 1830, Pangeran Diponegoro dan pengikutnya diangkut dengan Kereta Api menuju Gedung Karesidenan di Kota Semarang. Dari Kota ini dia diangkut dengan menggunakan kapal Korvet Pollux menuju Batavia. Diperkirakan Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada tanggal 11 April 1830.
Di Batavia, Pangeran Diponegoro disekap dalam ruang tahanan selama tiga minggu di lantai dua gedung Stadhuis Batavia, kini bernama Musium Sejarah Jakarta, sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Pada 30 April 1830, keputusan keluar, Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Ratnaningsih, Tumenggung Dipokusumo dan Isteri, serta para pengikut lainnya, seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno, dibuang ke Manado. Akhirnya pada 3 Mei 1830, Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya diberangkatkan ke Manado dengan menggunakan Kapal Pollux.

Pangeran Diponegoro, Singa Jawa dari Keraton Yogjakarta

Ia seorang Mujahid keturunan Raja Yogjakarta. Seluruh nafas kehidupannya diabadikan untuk kemerdekaan Tanah Jawa, dengan bersendikan ajaran agama Islam.
pangeran-diponegoroTegalrejo 29 Juli 1825. di bawah pimpinan Chevallier pasukan gabungan Belanda dan orang-orang patih Darurejo IV menyerbu laskar-laskar Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo, sebuah desa kecil yang terletak di barat laut Keraton Yogjakarta. Dentuman meriam dan bunyi letupan senapan membahana di seluruh penjuru desa.
Menghadapi serangan itu, kedua Pangeran bersama laskarnya segera menyingkir ke tempat yang lebih aman. Mereka menyadari, perang di medan yang amat sempit tidak menguntungkannya. Pangeran Diponegoro akhirnya memilih tempat yang lebih strategis untuk basis peperangannya di bukit Selangor, sebuah tempat yang dikelilingi lembah , benteng-benteng alam dan Gua, yang biasa dipergunakan bertapa. Tempat itu terletak 10 Km di sebelah barat daya kota Yogjakarta. Sedangkan keluarganya diungsikan ke desa Dekso.
Di lain pihak, Chevallier terus melancarkan serangan dahsyat dengan mengerahkan seluruh pasukan dan persenjataan yang dimiliki. Alhasil, Chavalier dalam waktu singkat mampu menguasai Tegalrejo. Sayangnya, Tegalrejo telah kosong melompong. Bakar…. Bakar saja rumah Diponegoro sampai habis! Seru Chavalier di tengah kemarahan dan kedongkolan hatinya karena buruannya telah kabur.

Cara Abu Nawas Merayu Tuhan

Tak selamanya Abu Nawas bersikap konyol. Kadang-kadang timbul kedalaman hatinya yang merupakan bukti kesufian dirinya. Bila sedang dalam kesempatan mengajar, ia akan memberikan jawaban-jawaban yang berbobot sekalipun ia tetap menyampaikannya dengan ringan.
Seorang murid Abu Nawas ada yang sering mengajukan macam-macam pertanyaan. Tak jarang ia juga mengomentari ucapan-ucapan Abu Nawas jika sedang memperbincangkan sesuatu. Ini terjadi saat Abu Nawas menerima tiga orang tamu yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Abu Nawas.
“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” ujar orang yang pertama.

Imam Syamil, Mujahid Perkasa dari Kaukasus

Ia seorang pahlawan. Dibawah kepemimpinannya, kaum Muslimin Chechen berdiri tegak. Kepahlawanannya dikagumi oleh sastrawan besar Rusia.
Nun jauh di pegunungan kaukasus, 1830, pasukan Tsar Rusia di bawah pimpinan Jenderal Turman mulai bergerak. Ribuan prajurit itu siap dan waspada untuk berperang dengan persenjataan lengkap. Peperangan kali ini cukup menyulitkan pasukan Rusia, sebab yang akan mereka taklukkan adalah bangsa Chechen yang punya kawasan strategis dan banyak siasat.

Abu Nawas dan Menteri yang Zalim (Bagian Kedua – Habis)

“Sudahkah kamu menerima pembayaran harga lembumu?” tanya Abu Nawas kepada anak muda pada malam harinya.
“Hamba diperdaya menteri itu,” jawab si pemuda dengan wajah nelangsa. “Lembu hilang, uang melayang.”
“Coba ceritakan kata Abu Nawas. “Aku kira jual beli berjalan lancar sehingga aku cepat-cepat pergi karena ada urusan lain.”
Maka diceritakanlah kejadian itu dengan nada mendongkol. “Sialan menteri itu,” ujar si pemuda.
“Oh begitu, kata Abu Nawas. “Jangan sedih, Insya Allah aku akan membantu.” Kemudian Abu Nawas minta si pemuda bersedia melaksanakan rencana yang telah disusunnya untuk membunuh si menteri zalim itu.
Keesokan harinya jam tujuh malam seorang wanita cantik berhenti di depan rumah si menteri zalim, ia tampak membuang sesuatu yang dicabut dari kakinya.

Abu Nawas dan Menteri yang Zalim (Bagian Pertama)

Di Negeri Baghdad dahulu kala ada seorang menteri yang dikenal sangat jahat perangainya, sehingga ditakuti warganya. Ia tidak bisa melihat perempuan cantik, terutama istri orang, pasti diambilnya. Apabila membeli suatu barang, ia tidak pernah mau membayar. Ihwal itu lama kelamaan sampai juga ke telinga Abu Nawas sehingga membuat hatinya panas. Maka Abu Nawas pun pasang niat tidak akan meninggalkan daerah itu sebelum sang menteri menghembuskan nafas terakhir alias mati.
Kemudian Abu Nawas berangkat ke tempat menteri itu tinggal dan sengaja menyewa rumah yang berdekatan untuk melakukan investigasi. Setelah beberapa hari bergaul dengan penduduk di situ, ia pun kenal dengan sang menteri dan bahkan bersahabat baik. Begitu baiknya pendekatan yang dilakukan sampai-sampai menteri itu tidak bisa mencium rencana busuk Abu Nawas. Abu Nawas boleh masuk dan keluar rumah itu dengan bebas, sehingga ia tidak menaruh curiga sama sekali kepadanya.

Muhammad Ibnu Qasim, Sang Perintis Peradaban Islam di Asia Selatan

Bersenjatakan ketapel raksasa dan batu berapi, pasukan Muslim membebaskan Asia Selatan. Di bawah Muhammad Ibnu Qasim, Asia Tengah mulai mengenal Peradaban Islam
Masuknya Islam ke kawasan Asia Selatan – India dan Pakistan sekarang – di motori oleh seorang tokoh Mujahid bernama Muhammad Ibn Qasim. Pada abad ke delapan Masehi, dalam waktu kurang dari dua tahun, panglima perang muslim itu dengan gagah berani berhasil mematahkan perlawanan pasukan beberapa kerajaan yang masih beragama Hindu di wilayah itu. Dan sejak itulah, Islam mulai berkembang dengan pesat di anak benua Asia tersebut.

Abu Nawas dan Pengemis yang Kedinginan dalam Kolam

Ada seorang saudagar di Bagdad yang mempunyai sebuah kolam yang airnya terkenal sangat dingin. Konon tidak seorangpun yang tahan berendam didalamnya berlama-lama, apalagi hingga separuh malam.
“Siapa yang berani berendam semalam di kolamku, aku beri hadiah sepuluh ringgit,” kata saudagar itu. Ajakan tersebut mengundang banyak orang untuk mencobanya. Namun tidak ada yang tahan semalam, paling lama hanya mampu sampai sepertiga malam.
Pada suatu hari datang seorang pengemis kepadanya. “Maukah kamu berendam di dalam kolamku ini semalam? Jika kamu tahan aku beri hadiah sepuluh ringgit,” kata si saudagar.

Khalid bin Walid, Hidup Terpuji Mati Bahagia (Bagian ke-2 Habis)

Kemenangan yang diraih oleh orang-orang Islam di Irak dari orang Persia menimbulkan harapan diperolehnya kemenangan yang sama pada orang Romawi di Syria. Khalifah Abu Bakar mengerahkan sejumlah pasukan dan menunjuk bebrapa orang pilihan sebagai Panglimanya, seperti Abu Ubaidah bin Jarrah, Amr bin Ash dan Yazid bin Abu Sufyan serta Muawiyah bin Abu Sufyan.
Pada saat balatentara Islam ini mulai bergerak, berita ini sampai kepada Kaisar Romawi. Ia menyarankan para menteri dan Jenderal-jenderalnya supaya berdamai saja dengan orang-orang Islam, dan berperang melawan mereka, karena itu hanya akan menimbulkan kerugian saja. Tetapi para menteri dan Jenderal-Jenderalnya tetap bersikeras hendak meneruskan perang sambil sesumbar: “Demi Tuhan, akan kita layani Abu Bakar itu, sampai ia tidak mampu mendatangkan pasukan berkudanya ke negeri kita ini.”

Khalid bin Walid, Panglima Perang, si Pedang Allah (Bagian ke-1)

Pribadi yang mengaku tidak tahu dimana dan dari mana kehidupannya bermula, kecuali di suatu hari dimana ia berjabat tangan dengan Rasulullah saw, berikrar dan bersumpah setia….saat itulah dia merasa dilahrikan kembali sebagai manusia “Dialah orang yang tidak pernah tidur, dan tidak membiarkan orang lain tidur.”
Suatu saat Khalid bin Walid pernah menceritakan perjalanannya dari Mekah menuju Madinah kepada Rasulullah:
“Aku menginginkan seorang teman seperjalanan, lalu kujumpai Utsman bin Thalhah; kuceritakan kepadanya apa maksudku, ia pun segera menyetujuinya. Kami keluar dari kota Mekah sekitar dini hari, di luar kota kami berjumpa dengan Amr bin Ash.

Abu Nawas, Hamil dan Hendak Melahirkan

Sultan Harun Al-Rasyid masygul berat, konon, penyebabnya sudah tujuh bulan Abu Nawas tidak menghadap ke Istana. Akibatnya, suasana Balairung jadi lengang, sunyi senyap. Sejak dilarang datang ke Istana, Abu Nawas memang benar-benar tidak pernah muncul di Istana.
“Mungkin Abu Nawas marah kepadaku,” pikir Sultan, maka diutuslah seorang punggawa ke rumah Abu Nawas.
“Tolong sampaikan kepada Sultan, aku sakit hendak bersalin,” jawab Abu Nawas kepada punggawa yang datang ke rumah Abu Nawas menyampaikan pesan Sultan. “Aku sedang menunggu dukun beranak untuk mengelurkan bayiku ini,” kata Abu Nawas lagi sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.

KH Abbas Djamil Buntet, Mutiara dari Pesantren Buntet

Seorang ulama besar yang mampu memadukan kitab kuning dan ilmu kanuragan sebagai media perjuangan membela umat.
Setiap usai salat zuhur atau Asar, tahun 1920-an, sebuah langgar di langgar Buntet, Cirebon, selalu penuh sesak oleh para tamu. Ada yang datang dari daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah, bahkan ada yang dari Jawa Timur. Mereka bukan santri yang hendak menuntut ilmu agama, melainkan masyarakat yang hendak belajar ilmu kesaktian kepada sang guru.
Walaupun namanya sudah sangat terkenal di seantero pulau jawa, baik karena kesaktian maupun kealimannya. Kala itu Kiai Abbas (1879-1946) tetap saja hidup sederhana. Dilanggar beratap genteng itu, ada dua kamar dan ruang terbuka cukup lebar dengan hamparan tikar yang terbuat dari pandan. Di ruang terbuka inilah, sejak tahun 1920 hingga 1945 kiai Abbas menerima tamu tak henti-hentinya.

Abu Nawas dan Harimau Berjenggot

“Hai Abu Nawas,” seru Khalifah Harun Al-Rasyid. “Sekarang juga kamu harus dapat mempersembahkan kepadaku seekor harimau berjenggot, jika gagal, aku bunuh kau.”
Kata-kata itu merupakan perintah Sultan yang diucapkan dengan penuh tegas dan kegeraman. Dari bentuk mulutnya ketika mengucapkan kalimat itu jelas betapa Sultan menaruh dendam kesumat kepada Abu Nawas yang telah berkali-kali mempermainkan dirinya dengan cara-cara yang sangat kurang ajar. Perintah itu merupakan cara Baginda untuk dapat membunuh Abu Nawas.

Pangeran Jayakarta, Membumihanguskan Sunda Kelapa

Ia seorang panglima yang mampu mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Juga seorang Ulama Muda yang berhasil mensyiarkan Agama Islam lebih marak di Tanah Jawa.
Awal abad ke 16, seorang Ulama Muda asal Samudera Pasai baru saja pulan dari Mekkah. Seperti pemuda Aceh lainnya, ia tidak bisa lagi menginjakkan kakinya ditanah kelahirannya, untuk menyebarkan agama Islam. Pasalnya, Portugis sangat ketat mengawasi masyarakat bumiputra yang mensyiarkan agama Islam, lebih-lebih yang baru kembali dari tanah suci. Ulama muda itu adalah Fadhilah Khan, orang Portugis mengucapkannya dengan nama Fatahillah atau Falatehan.

Abu Nawas dan Menteri Bertelur

Pada suat hari Sultan Harun al-Rasyid memanggil sepuluh orang Menterinya “Kalian tahu didepan Istana ini ada sebuah kolam. Aku akan memberikan masing-masing sebutir telur kepada kalian, menyelamlah kalian ke dalam kolam itu dan kemudian serahkanlah telur-telur itu kepadaku apabila kamu muncul kepermukaan. Aku ingin tahu kepandaian Abu Nawas.”
Kemudian sultan menyuruh memanggil Abu Nawas ke Istananya. Kepada Abu Nawas dan kesepuluh orang menterinya itu Sultan bertitah, “Kamu sekalian aku perintahkan turun ke dalam kolam itu, menyelam, dan apabila muncul kepermukaan serahkanlah kepadaku sebutir telur ayam. Barangsiapa tidak menyerahkan telur, niscaya mendapat hukuman dariku.”

Pangeran Suriansyah, Raja Islam Pertama di Kalimantan

Kehadiran Islam di Kalimantan pada Abad ke 15 tidak lepas dari peranan Sunan Giri dan Sunan Bonang dari Tuban Jawa Timur
Sampai hari itu, ketika abad ke 15 berangsur-angsur mengakhiri penanggalannya. Awan hitam masih menyelimuti udara Kerajaan Daha di Kalimantan. Carut marut perang saudara yang melibatkan Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudra tengah menunjukkan wajahnya yang garang.
Pangeran Tumenggung adalah penguasa Kerajaan Daha, sedangkan Pangeran Samudera, keponakannya sendiri, yang sekaligus cucu Pangeran Sukarama, Raja Daha Pertama (1555-1585), karena ibu Pangeran Samudera, putri Galuh adalah anak Pangeran Sukarama yang dinikahkan dengan Raden Menteri Jaya, putra Raden Bangawan, saudara kandung Pangeran Sukarama. Jadi kedua orang yang bersengketa itu masih mempunyai pertalian darah, karena Pangeran Tumenggung adalah anak Paneran Sukarama juga.

Abu Nawas dan Pesta Yahudi

Suatu hari Abu Nawas singgah di rumah kenalannya, seorang Yahudi. Di sana sedang berlangsung permainan musik. Banyak yang menonton sehingga susananya meriah. Semua tamu yang datang terlibat dalam permainan musik itu, termasuk Abu Nawas yang baru saja masuk, ada yang main kecapi, ada yang menari-nari, semua bersuka ria. Demikian asyiknya permainan itu sampai menguras tenaga, karena makan waktu cukup lama.
Dan ketika para tamu sudah pada kehausan, tuan rumah mengedarkan kopi kepada para hadirin. Masing-masing mendapat secangkir kopi. Ketika Abu Nawas hendak menghirup kopi itu, ia ditampar oleh si Yahudi. Namun karena larut dalam kegembiraan, hal itu tidak ia hiraukan, dan diangkatnya lagi cangkirnya, tapi lagi-lagi ia ditampar. Ternyata tamparan yang diterima Abu Nawas malam itu cukup banyak sampai acara selesai sekitar pukul dua dini hari.

Musa Ibnu Nusair, Sang Mujahid Pembebas Spanyol

 Ia panglima perang yang berhasil membebaskan beberapa kawasan Barat. Saat berada di puncak kekuasaan, ia lebih suka memutus karirnya: pulang kampung!!
Dalam sejarah Islam, Musa Ibnu Nusair dikenal sebagai sang pembebas yang tidak hanya memperluas daerah kekuasaan, melainkan juga membebaskan warganya dari kezaliman. Tidak hanya itu, ia pun pembangkit, pelindung dan penyokong peradaban serta kebudayaan.
Sangat berbeda dengan tokoh-tokoh sejarah lain, seperti Jenghis Khan, Hulagu, Atilla, atau Hanibal, yang menjajah dan menghancurkan peradaban dan kebudayaan bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Di bawah kekuasaan Musa bin Nusair, Eropa khususnya Spanyol, mengalami kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan budaya, sehingga negeri Matador itu mencapai puncak kemajuan.

Abu Nawas dan Nazar Seorang Saudagar

“Hai istriku sebaiknya kita bernazar kepada Allah”, kata seorang saudagar kepada istrinya, “Jika kita diberi anak laki-laki, aku akan memotong kambing yang besar dan lebar tanduknya sejengkal, kemudian dagingnya kita sedekahkan kepada fakir miskin.”
Rupanya sang saudagar tersebut sudah sangat merindukan lahirnya seorang anak, karena telah bertahun-tahun berumah tangga tidak kunjung diberi momongan oleh Tuhan. Kemudian ia menyuruh beberapa orang untuk mencari kambing besar bertanduk selebar jengkal, dengan pesan, “Beli saja kambing itu berapapun harganya, tidak usah ditawar lagi.”

Kisah Abu Nawas akan Disembelih

Hari itu Abu Nawas sengaja menghabiskan waktunya berkeliling kampung, pinggiran Kota Baghdad. Ia baru pulang saat menjelang maghrib. Ketika lewat Kampung Badui (orang gurun) ia bertemu dengan beberapa orang yang sedang memasak bubur. Suasananya ramai, bahkan riuh rendah. Tanpa disadari ia di tangkap oleh orang-orang itu dan dibawa ke rumah mereka untuk disembelih.
“Mengapa aku ditangkap?” tanya Abu Nawas.
“Hai, orang muda, kata salah seorang diantaranya sambil menunjuk ke belanga yang airnya sedang mendidih, “Setiap orang yang lewat di sini pasti kami tangkap, kami sembelih seperti kambing, dan dimasukkan ke belanga bersama adonan tepung itu. Inilah pekerjaan kami dan itulah makanan kami sehari-hari.”

Abu Nawas, Mengajar Lembu Mengaji Al-Qur’an

“Panggil Abu Nawas kemari hari ini juga,“ titah Sultan Harun Al-Rasyid kepada seorang hambanya.
“Tuan Abu Nawas …” kata si hamba raja sesampai di rumah Abu Nawas, “Tuan Hamba dipersilahkan Baginda datang ke istana hari ini juga.”
Hanya berjarak setengah jam setelah hamba sahaya tadi sampai di istana, Abu Nawas pun tiba di sana.
“Hai Abu Nawas …” kata Sultan, “Tahukah kamu mengapa kamu aku panggil kemari? Aku minta tolong kepadamu untuk mengajari lembuku supaya bisa mengaji Al-Qur’an. Jika lembu itu tidak dapat mengaji, niscaya aku akan menyuruh mereka membunuh kamu.”

Abu Nawas dan Mimpi Indah

Seorang pendeta dan seorang rahib berencana memperdayai Abu Nawas. Rencanapun disusun rapid an mereka segera bertandang kerumah Abu Nawas yang disambut baik oleh yang empunya rumah.
“Kami ingin mengajakmu melakukan pengembaraan suci, wahai Abu Nawas. Kami berharap engkau tidak keberatan dan dapat bergabubg bersama kami,” ujar si Rahib sambil melirik pada kawan di sebelahnya.
“Dengan senang hati aku akan ikut, kapan rencananya?” Tanya Abu Nawas.
“Besok pagi ujar si Pendeta gembira.
“Baiklah kita bertemu di warung teh besok,” uhar Abu Nawas.

Abu Nawas, Kuah Dibalas Makjun

Di mata Khalifah Harun al-Rasyid figur Abu Nawas memang lihai, dia tidak hanya lucu tetapi juga bijaksana sehingga tidak dapat dipandang enteng. Di satu pihak hal itu sangat membanggakan khalifah, tetapi di lain pihak, sangat menjengkelkannya, karena ia suka kurang ajar dan tidak tahu diri. Oleh karena itu baginda tidak pernah berhenti memeras otak untuk dapat membalas Abu Nawas.
Pada suatu hari di bulan Rabiulawal, baginda khalifah tersenyum simpul sendiri sambil bergumam, “Awas kau, Abu Nawas, kali ini pasti kena.”
Seperti biasa setiap bulan Rabiulawal, Sultan Harun Al-Rasyid menyelenggarakan acara Maulid Nabi di istana. Pada saat itu semua pembesar negeri hadir termasuk putra-putra mahkota dari negeri-negeri sekitarnya, tapi Abu Nawas tidak tampak.