Tidak mustahil, pendakwah pertama di Nusantara adalah wanita. Kakeknya adalah pedagang dari Timur Tengah, diduga pernah membangun Masjid.
Bukti tertua kehadiran huruf Arab pada
fase awal Islam di Nusantara ditemukan di sebuah makam di desa Leran, 8
Km utara kota Gersik Jawa Timur. Huruf itu terdapat pada Nisan Fatimah binti Maimun bin Hibatullah. Dia wafat pada hari Jumat 12 Rabiulawal 475 Hijriyah / 1082 Masehi.
Penanggalan itu menunjukkan nisan
dipusara anak perempuan Maimun ini merupakan bukti tertua penggunaan
tulisan Arab di Asia Tenggara. Demikian di tuliskan pada buku panduan
pameran Budaya Islam di Aula Institut Agama Islam Negeri (IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta), pada tanggal 11-17 September 1995.
Inskripsi nisan Fatimah terdiri atas
tujuh baris, di tulis dengan huruf Arab dengan gaya Kufi, salah satu
ragam kaligrafi, dengan tata bahasa Arab yang baik. Nisan ini juga
memuat ayat Al-Qur’an, antara lain surat Al-Rahman ayat 28-27 dan surat
Ali Imron ayat 185.
Bersama
nisan Maulana Malik Ibrahim, yang wafat pada 12 Rabiulawal 822 H / 8
April 1419 M, juga dimakamkan di Gresik, mengukuhkan pendapat bahwa
Islam masuk ke Nusantara melalui Persia dan Gujarat. Ada juga sarjana
yang mengatakan batu nisan tersebut mirip kuil tembok Hindu di Gujarat.
Prof. DR. PA. Hoesien Djajadiningrat
menyatakan, “Bukti agama Islam masuk ke Nusantara dari Iran (persia),
ialah ejaan dalam tulisan Arab, baris di atas, di bawah, dan di depan
disebut jabar, Jer dan Pes. Ini adalah bahasa Iran. Kalau menurut bahasa
Arab, ejaannya adalah Fathah, Kasrah dan Dhammah. Begitu pula huruf Sin
yang tidak bergigi, sedangkan huruf Sin dalam bahasa arab adalah
bergigi, ini adalah salah satu bukti yang terang.”
Siapakah Fatimah binti Maimun? Ahli
sejarah Cirebon abad ke 17, Wangsakerta, sebagai pangeran ketiga keraton
pernah melakukan Gotrasawala (musyawarah kekeluargaan) ahli sejarah se
Nusantara menelusuri silsilah para Syekh, guru agama dan Sultan
keturunan Nabi Muhammad SAW yang menjadi tokoh penyebar agama Islam di
Nusantara. Wangsakerta berdiskusi dengan Mahakawi sejarah dari Pasai,
Jawa Timur, Cirebon, Arab, Kudus, dan Surabaya, serta ulama dari Cirebon
dan Banten.
Hasilnya sebagai berikut: Rasulullah
Muhammad SAW berputri Fatimah yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib,
berputra Husaian, berputra Zainal Abidin, yang menurunkan Muhammad
Al-Baqir, bapak Ja’far Shadiq, berputra Ali Al-Uraidi, ayah Sulaiman
Al-Basri, yang menetap di Persi, Sulaiman Abu Zain Al-Basri, yang
menurunkan Ahmad Al-Baruni, ayah Sayyid Idris Al-Malik, yang berputra
Muhammad Makdum Sidiq, yang terakhir ini adalah ayah Hibatullah, kakek
Fatimah binti Maimun.
Masih menurut penelusuran itu, Fatimah menikah dengan Pria bernama Hassan yang berasal dari Arab bagian selatan.
Tentang Fatimah binti Maimun ini,
pasangan peneliti H.J. de Graaf dan Th. Piqeaud menghubungkan-nya dengan
tradisi Lisan Jawa, tentang putri Leran atau putri Dewi Swara. Dalam
kaitan ini, kedua pakar Belanda ini juga menerima anggapan bahwa Gresik
merupakan pusat tertua agama Islam di Jawa Timur.
Dengan demikian, tidak mustahil Fatimah
binti Maimun itu pendakwah Islam pertama di Tanah Jawa, bahkan sangat
boleh jadi di Nusantara. Namun ada penulis yang menyatakan, kakeknya
pedagang dari Timur tengah, Hibatullah, menetap di Leran, dan menikah
dengan wanita setempat, bahkan di duga sudah membangun masjid.
Apakah faktor kebetulan bila desa tempat
Fatimah binti Maimun di makamkan itu bernama Leran? Tentu saja hal ini
telah menjadi perbincangan para ahli sejarah sejak lama.
Cendikiawan Muslim Oemar Amin Hoesin,
misalnya berpendapat, di Persia itu ada satu suku namanya “Leren”, suku
inilah yang mungkin dahulu datang ke tanah Jawa, sebab di Giri ada
kampung Leren juga namanya. Begitu pula, ada suku Jawi di Persia. Suku
inilah yang mengajarkan huruf Arab yang terkenal di Jawa dengan huruf
Pegon.
Dalam hal ini, Moh. Hari Soewarno
mencatat, Leran sebenarnya nama suku di Iran. mungkin Fatimah berasal
dari Parsi, sebab data itu bisa dibandingkan dengan data lain di Iran
sendiri. Di sanapun terdapat desa yang namanya Jawi, sehingga dapat di
tarik kesimpulan, pada abad ke ke 11 itu sudah ada lalu lintas dagang
antara negeri kita dengan negeri Parsi. Peristiwa itu pasti terjadi
berulang-ulang serta di mengerti banyak orang, baik di Jawa maupun di
Iran.
Menurutnya, orang Parsi, yang datang ke
Jawa merasa kerasan, lalu menetap. Sebaliknya orang Jawa yang merasa
senang di Iran lalu menetap di sana dan menamai desanya Jawi – untuk
menunjukkan perkampungan orang Jawa disana..
Jadi, dapat disimpulkan, Fatimah binti
Maimun adalah orang Parsi yang menetap di Jawa (tepatnya di Gresik),
lalu perkampungannya disana hingga sekarang terkenal sebagai desa Leran.
Lebih jauh diketahui, di Kediri pada Abad ke 11 sudah banyak orang
membuat rumah indah dengan genting warna-warni, kuning dan hijau. Gaya
rumah demikian banyak kita jumpai di Parsi.
Apakah juga faktor kebetulan jika dari
tanah Persia, Fatimah binti Maimun merantau ke pelabuhan Gresik,
kemudian tinggal serta wafat dan dimakamkan di sana? Bersama nisan ulama
Persia Maulana Malik Ibrahim, yang berangka tahun 882 H / 1419 M,
sedang Nisan Fatimah yang berangka 475 H / 1082 M dilihat sebagai bukti
bahwa pada waktu itu banyak orang Gresik yang telah menganut agama
Islam. Bahkan sebelum kedatangan para Wali periode pertama, sudah banyak
pedagang Islam di tanah Jawa. Mereka memilih daerah pelabuhan Gresik,
yang saat itu sedang dalam kekuasaan kerajaan Majapahit, sebagai tempat
tinggal mereka.
Bersama Tuban dan Jepara, pelabuhan
Gresik sejak zaman Prabu Airlangga (1019-1041 M) bertahta, telah
terjalin hubungan dagang dengan negara-negara manca. Di pantai Tuban
banyak ditemukan kepingan uang emas dinar Arab bertarikh abad ke 9 –
10, yang menunjukkan bahwa lalu lintas niaga antara Jawa dan Timur
Tengah sudah pesat.
Akan halnya kedudukan Gresik yang
istimewa itu, ahli obat-obatan bangsa Portugal, Tom Pires, yang
menyusuri utara pantai Jawa pada Maret sampai Juni 1513, mencatat dalam
jurnalnya, “Mereka mulai berdagang di negeri itu dan bertambah kaya.
Mereka berhasil membangun masjid dan Mullah, para ulama di datangkan
dari Luar.”
Mengenai kemampuan melaut orang Jawa,
Babat Tanah Jawi versi J.J. Meinnsma menggambarkan betapa kapal layar
Jawa telah mengarungi samudra jauh sampai ke negeri Sophala di pantai
Afrika Timur yang berhadapan dengan Madagaskar. Penjelajajahan itu
terkait dengan kemajuan bidang industri pembuatan alat pertanian,
seperti Cangkul dan sabit, serta alat persenjataan, yakni Keris yang
bahan bakunya harus di cari sampai ke Afrika Timur. Itulah sebabnya,
orang Jawa memberanikan diri berlayar ke Sophala dengan tujuan mencari
bahan mentah besi yang ada di sana.
Akan tetapi ahli keris B.K.R.T. Hertog
Djojonegoro menyatakan bahwa yang dicari jauh-jauh itu bukan hanya besi,
melainkan juga batu metorit (watu lintang, batu bintang) sebagai bahan
pamor atau “kesaktian” pada keris atau tombak. Pamor yang baik ada 111, antara lain berasal dari Gunung Uhud, di Arab Saudi, misalnya pamor “Subhanallah,, Alif dan Ahadiyat”, yang sangat besar kewibawaannya, serta pamor “Rahmatullahi.” Yang mendatangkan banyak rezeki.
Pengambilan pamor dari Gunung Uhud,
menurut Hertog, menunujukkan bahwa suku bangsa Jawa khususnya dan bangsa
Indonesia umumnya pada masa dahulu merupakan bangsa pelaut dan pedagang
yang sudah mengunjungi tanah Arab dan sudah memiliki hubungan dagang
dengan banyak negeri di kawasan Timur Tengah.
Diakui oleh bangsa asing melalui
tulisannya bahwa dalam periode lama sebelum tarikh Masehi orang
Indonesia merupakan bangsa pelaut, bahari dan pedagang ulung yang
mencapai puncaknya pada zaman Sriwijaya, Syailendra, dan Majapahit.
Kemudian masih berlangsung pada masa Demak dan Mataram di bawah Sultan
Agung.
Keahlian membuat Keris hanyalah satu
dari 10 ilmu asli yang dimiliki orang Jawa: Wayang, Gamelan, Metrik
(cara dan alat penimbang), Batik, Logam (dan cara mengolahnya), sistem
uang, ilmu pelayaran, Astronomi (ilmu perbintangan), penanaman Padi
basah, dan sistem pemerintahan yang sangat teratur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar