Rabu, 27 Maret 2013

Ketika Imam Syafi'i Tidak Qunut

Siapa tak kenal Imam Syafi’i? Bapak ushul fiqih ini tak hanya tenar karena kepakarannya di bidang hukum Islam. Sejumlah ulama menilai, Imam Syafi’i juga layak dianggap pelopor disiplin keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir dan musthalah hadits.

Terlahir dengan nama Muhammad ibn Idris, Imam Syafi’i tumbuh sebagai pribadi yang cerdas dan kritis. Memang ia sangat memuliakan dan mengagumi guru-gurunya. Namun, proses pencarian kebenaran yang gigih membawanya ke panggung ijtihad yang mandiri. Imam Syafi’i sukses membangun mazhabnya sendiri, terutama fiqih.

Reaksi Abu Bakar Menelan Makanan Haram

Suatu hari Abu Bakar ash-Shiddiq menerima makanan dari hamba sahayanya. Tanpa ragu, ia langsung mencicipinya. Si hamba sahaya pun heran dengan peristiwa yang dinilai tak biasa ini.

”Kau selalu menanyakan asal makanan yang aku bawa. Tapi mengapa hari tak kau berbuat demikian?” tanya hamba sahaya.

”Maaf, rasa laparku membuatku lupa menanyakan hal itu. Dari mana kamu mendapatkan makanan ini?”

Hamba Sahaya lantas menjelaskan bahwa ia pernah berprofesi sebagai tukang ramal. Sebagian orang yang diramal membayar kontan namun sebagian lain berhutang.

Ketika Harun ar-Rasyid Ngaji ke Imam Malik

Khalifah Harun ar-Rasyid termasuk pemimpin yang sangat dihormati rakyatnya. Tentu wibawa ini tak dicapainya secara gratis. Prestasi dalam pembangunan ekonomi, politik, budaya, dan pengetahuan tergolong gemilang.

Puncak kekuasaan dan kharisma kepribadiannya membuat setiap perintah sang khalifah dipatuhi semua orang. Hanya orang-orang khusus yang berani membangkang dari keinginan-keinginannya. Selain Abu Nawas, Imam Malik adalah salah satu orang yang bernyali istimewa ini.

Abu Nawas dan Kadi Malang

Abu Nawas, yang tidak diundang ke istana untuk upacara pemberian nama bayi lelaki yang diselenggarakan oleh Baginda Sultan, nekad datang. Ia tidak setuju dengan nama Fulan yang akan diberikan kepada bayi itu. “Biasanya orang yang bernama Fulan itu bodoh,” katanya.
Kepada Sultan yang memergoki dintara para orang besar yang di udang, Abu Nawas bertanya, “Tidak bolehkah nama itu diganti?”
Sultan, yang sudah gondok, menanyakan alasannya dan minta bukti bahwa orang yang namanya Fulan itu bodoh, “Coba buktikan, jika tidak berhasil, aku bunuh kau.”

Syekh Maulana Malik Ibrahim: Kisah Beras dan Pasir

Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah anggota wali songo urutan pertama. Beliau menyiarkan Islam ke tanah Jawa sambil berdagang. Bagai kunang-kunang besar yang memanggul cahaya, Maulana Malik Ibrahim datang menerangi tanah Jawa dengan Islam.
Suatu hari dalam perjalanan dakwah ke sebuah dusun yang diberkahi dengan tanah subur, Syekh Maulana Malik Ibrahim bersama seorang muridnya singgah di sebuah rumah. Rumah itu milik orang kaya. Menurut desas-desus pemilik rumah itu amat kikir.
Padahal si empunya rumah adalah orang berada yang memiliki berton-ton beras. Halaman rumahnya luas. Di sana tersusun berkarung-karung beras hasil pertanian. Rupanya Syekh Maulana Malik Ibrahim ingin menemui si empunya rumah yang tak lain adalah salah seorang muridnya. Ia ingin menasihati muridnya agar meninggalkan sifat jelek itu.

Abu Raihan Al-Biruni, Ilmuwan Muslim Terbesar Sepanjang Masa

Sebagai seorang ilmuwan besar, Al-Biruni banyak menuliskan penemuan-penemuannya. Ia telah menulis lebih dari 200 buku tentang hasil pengamatan dan eksperimennya.
ar-rayhan-al-biruni
Allah Maha Mengetahui, dan tidak menyukai ketidaktahuan Abad Al-Biruni. Begitulah para sejarawan dunia menamakan masa keemasan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan Masehi. Ini menurut catatan sejarah, ia pernah akan diberi penghargaan berupa ribuan mata uang perak yang dibawa tiga ekor unta oleh Sultan yang berkuasa saat itu, akan tetapi ia menolak. Menurutnya, ia mengabdi kepada ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan demi uang.
Melalui jawabannya tersebut, secara tidak langsung ia mengatakan bahwa ilmu tidak dapat diukur dengan uang. Ia antusias mencari ilmu sebanyak-banyaknya hanya karena Allah. Ia sadar.
Dalam melakukan penelitian ilmiah terhadap alam semesta, Al-Biruni memiliki metode yang khas. Menurutnya, ilmuwan adalah orang yang menggunakan setiap sumber yang ada dalam bentuk aslinya, kemudian melakukan pekerjaan dengan penelitian melalui pengamatan langsung dan percobaan. Metode ini kemudian banyak dijadikan pegangan oleh para ilmuwan selanjutnya.

K.H. Ahmad Rifa’i, Gerakan Perlawanan Kiai Kalisalak

Dulu, di Jawa Tengah, ada seorang Kiai yang sangat gigih melawan Belanda. Gerakan perlawannya di sebut “Tarajumah.” Pelopornya adalah KH. Ahmad Rifa’i, yang belum lama ini diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Bagi masyarakat Jawa Tengah,, terutama di Pekalongan Kedu, Semarang, dan sekitarnya, Nama KH. Ahmad Rifa’i dari Kalisalak, Batang, Jawa Tengah, sudah tak asing lagi. Dua abad silam ia wafat, namun namanya masih harum hingga sekarang. Ia adalah ulama besar ahli Tarekat, yang sangat gigih melawan kolonialisme Belanda. Itu sebabnya Presiden Susilo Bambang Yudoyono memberinya gelar sebagai Pahlawan Nasional, melalui Kepres Nomor: 089/TK/2004. ia dikenal sebagai sosok pemimpin rakyat yang tegas, ulet dan teguh dalam pendirian.

Ju Panggola, Pejuang dan Wali Gorontalo

Ia dikenal sebagai pelindung rakyat, ulama dan Waliyullah. Makamnya yang selalu penuh oleh para peziarah, harum semerbak setiap hari.
Kaum muslimin di Gorontalo, Sulawesi, niscaya tidak ada yang tidak kenal nama Ju Panggola. Ia adalah seorang Ulama, Pejuang dan Waliyullah yang masyhur di abad ke 16. Pendek kata Ju Panggola adalah tokoh kharismatik yang makamnya dikeramatkan, dan sampai sekarang selalu diziarahi banyak orang. Sebagai penghormatan, makam Ju Panggola dibangun di balik mihrab Masjid Quba – sebuah masjid mungil, di puncak sebuah bukit dengan panorama yang indah di sekitarnya.

Mbah Kyai Musyafa’ Orang “Gila” yang Penuh Karomah

Sebelum dikenal sebagai Wali, Mbah Kiai Musyafa’ dianggap orang Gila. Namun kemudian banyak orang yang menemukan Karomahnya. Karena itu, setelah dia meninggal, makamnya kerap didatangi peziarah.
Kota Kaliwungu, tepatnya di wilayah Kecamatan Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah, tampak sangat anggun bila dilihat dari bukit yang terletak di Desa Proto Mulyo, sebelah timur Kampung Gadukan, Kutoarjo, Kaliwungu. Masjid Al-Muttaqin yang berada di pusat kota terlihat sangat dominan dan lebih besar dibanding bangunan lain yang ada di sekitarnya. Menara dan kubah masjid tampak sangat kukuh, seperti menegaskan betapa Allah SWT Mahabesar.

Ibnu Bathuthah, Sang Pengembara Selama Dua Dasawarsa

Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Al-Tanji. Ia berasal dan dilahirkan dari orang tua Moor yang kaya dan bijaksana di Tangier, Maroko, pada 1304 M / 703 H dan wafat pada 1369 M / 770 H. Harapan orang tuanya, dia menjadi ahli hukum. Namun kenyataan bicara lain, ia menjadi pengelana yang andal selama hampir dua dasawarsa dengan nama Ibnu Bathuthah.
Tangier adalah sebuah kota pelabuhan di Maroko Utara, terletak di bibir selat Gibraltar atau Jabal Thariq, yang sangat ramai disinggahi kapal-kapal dagang, yang merupakan arus pelayaran utama kala itu. Situasi semacam itulah yang mempengaruhi kehidupan Bathuthah kecil. Kupingnya tajam menangkap pembicaraan para pelancong dan awak kapal yang singgah di kota kelahirannya itu, dan telah menebarkan isyarat, kelak ia akan menjadi seperti mereka, yaitu melancong dan mengembara. Untuk itu ia melengkapi dirinya dengan berbagai bacaan mengenai perjalanan lintas benua.

Fatimah Binti Maimun, Muballigh Pertama Tanah Jawa

Tidak mustahil, pendakwah pertama di Nusantara adalah wanita. Kakeknya adalah pedagang dari Timur Tengah, diduga pernah membangun Masjid.
Bukti tertua kehadiran huruf Arab pada fase awal Islam di Nusantara ditemukan di sebuah makam di desa Leran, 8 Km utara kota Gersik Jawa Timur. Huruf itu terdapat pada Nisan Fatimah binti Maimun bin Hibatullah. Dia wafat pada hari Jumat 12 Rabiulawal 475 Hijriyah / 1082 Masehi.
Penanggalan itu menunjukkan nisan dipusara anak perempuan Maimun ini merupakan bukti tertua penggunaan tulisan Arab di Asia Tenggara. Demikian di tuliskan pada buku panduan pameran Budaya Islam di Aula Institut Agama Islam Negeri (IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), pada tanggal 11-17 September 1995.

Karomah Habib Sholeh Tanggul

Membicarakan karamah Habib Sholeh tidak bisa lepas dari peristiwa yang mempertemukan dirinya dengan Nabi Khidir AS. Kala itu, layaknya pemuda keturunan Arab lainnya, orang masih memanggilnya Yik, kependekan dari kata Sayyid, yang artinya Tuan, sebuah gelar untuk keturunan Rasulullah.
Suatu ketika Yik Sholeh sedang menuju stasiun Kereta Api Tanggul yang letaknya memang dekat dengan rumahnya. Tiba-tiba datang seorang pengemis meminta uang. Sholeh yang sebenarnya membawa sepuluh rupiah menjawab tidak ada, karena hanya itu yang dimiliki. Pengemis itupun pergi, tetapi kemudian datang dan minta uang lagi. Karena dijawab tidak ada, ia pergi lagi, tetapi lalu datang untuk ketiga kalinya. Ketika didapati jawaban yang sama, orang itu berkata, “Yang sepuluh rupiah di saku kamu?” seketika Yik Sholeh meresakan ada yang aneh. Lalu ia menjabat tangan pengemis itu. Ketika berjabat tangan, jempol si pengemis terasa lembut seperti tak bertulang. Keadaan seperti itu, menurut beberapa kitab klasik, adalah cirri fisik nabi Khidir. Tangannyapun dipegang erat-erat oleh Yek Sholeh, sambil berkata, “Anda pasti Nabi Khidir, maka mohon doakan saya.” Sang pengemispun berdoa, lalu pergi sambil berpesan bahwa sebentar lagi akan datang seorang tamu.

Sayyidina Ali Zainal Abidin, Waliyullah yang Senantiasa Bersujud

Ia adalah cicit Rasulullah SAW yang selamat dari pembantaian dalam tragedi Karbala. Setelah dewasa ia menjadi wali yang setiap saat bersujud kepada Allah SWT.
Setelah dua cucu tersayang Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husien, wafat, sementara sisa-sisa keturunan beliau yang lain terbunuh di padang Karbala, yang masih hidup ialah Ali Zainal Abidin, satu-satunya putra Sayyidina Husien bin Ali bin Abi Thalib. Cicit Rasulullah SAW ini lahir di Madinah pada 33 H / 613 M. sementara riwayat lain mengungkapkan ia lahir pada 38 H / 618 M. ketika pecah Tragedi Karbala pada abad ke-6 H (abad ke-12 M), ia baru berusia 11 tahun.

Habib Kramat Bangil

Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad adalah seorang ulama besar pada zamannya. Ia menuntut ilmu dari beberapa ulama, kuat beribadah, dan selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ulama yang dikenal sangat alim, dan karenanya dikenal sebagai waliyullah itu lahir pada 4 Safar 1261 Hijriyah atau 12 Februari 1840 M. di kota Hawi, Tarim, Hadramaut, Yaman.
Habib Abdullah yang di Indonesia lebih populer dengan sebutan Habib Kramat Bangil, terkenal di kalangan muslimin sebagai ulama yang konsisten memperjuangkan kebenaran. Di masa hidupnya, tak jemu-jemunya ia mengajak umat untuk selalu hidup di jalan yang benar, sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunah Rasul.

Ki Ageng Pandanarang

Ia menjadi penyebar agama Islam di kota Semarang, sekaligus sebagai bupati pertama. Namanya dikenal sebagai cikal-bakal kota Semarang
Kalau berada di Bukit Mugas, akan Anda lihat Kota Semarang bawah terhampar luas hingga ke laut Jawa, di tempat yang tinggi inilah Ki Ageng Pandanarang (kadang dilafalkan Pandanaran), bupati pertama Semarang dimakamkan. Meski sudah meninggal seakan-akan beliau masih ingin mengawasi kota Semarang yang telah didirikannya sejak awal abad ke 16.

Sunan Ngudung, Panglima Orang Alim

Setelah Sunan Ampel wafat, para santri memutuskan untuk mengakhiri kekuasaan Majapahit, karena Raja Brawijaya V mulai meminta bantuan Portugis untuk menekan Syiar Islam.
Imam keempat masjid Demak, yang bertugas kira-kira 1521-1524 dan dilantik oleh Adipati Sabrang Lor (Adipati Yunus) dari Jepara, mati syahid melawan Majapahit. Ia dijuluki penghulu Rahmatullah di Undung atau Ngudung – mayoritas orang jawa menyebutnya Sunan Ngudung.
Dalam pertempuran habis-habisan itu, yang boleh jadi telah berakhir (1527 M) dengan direbutnya ibukota kerajaan tua tersebut, ia berjuang bersama anaknya yang kemudian lebih dikenal sebagai Sunan Kudus. Mereka memimpin pasukan “orang alim.”

Al Humaidi

Nama langkap beliau adalah Abdullah bin Zuber bin Isa Abu Bakar al Humaidi. Beliau adalah juga murid langsung dari Iman Syafi’i Rahimahullah.
Beliaulah yang membawa dan mengembangkan Madzhab Syafi’i ketika di Mekkah, sehingga beliau diangkat menjadi Mufti Mekkah. Wafat di Mekkah pada tahun 219 H.
Inilah di antaranya murid-murid langsung dari Imam Syafi’i Rhl. yang kemudian menjadi Ulama Besar dan tetap teguh memegang Madzhab Syafi’i.

Al Buwaithi



Nama iengkap beliau adalah Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya al Buwaithi, lahir di desa Buwaith (Mesir) wafat 231 H.
Beliau ini adalah murid langsung dari Imam Syafi’i Rhl sederajat dengan Ar Rabi’i bin Sulaiman al Muradi.

Dahsyatnya Alam Kubur

Suatu ketika Muhammad bin Wazir al-Harani keluar dari rumahnya menuju kebun setelah Ashar.
Ia bercerita,
“Ketika matahari hendak tenggelam, saya berada di tengah kuburan. Tiba-tiba dari salah satu kuburan bara api yang wujudnya menyerupai sebuah panci kaca sedagkan mayat berada di tengah-tengahnya. Saya mengusap mata saya dan saya berkata, ‘Apakah saya sedang mimpi atau sungguhan?’ Kemudian saya menoleh ke pagar kota dan saya berkata, ‘Demi Allah, saya tidak sedang tidur’.”
“Kemudian saya pulang ke keluarga saya. Saya kebingungan. Lalu keluargaku memberiku makanan, tetapi saya tidak bisa makan. Selanjutnya saya masuk ke daerah tersebut, lalu saya bertanya tentang siapa penghuni kubur tersebut. Ternyata orang yang di dalam kubur tersebut adalah pemungut pajak liar.” (Ia adalah salah satu pembantu orang-orang zhalim) yang meninggal dunia pada hari itu.

Orang yang Tidak Takut dengan Kematian

Dia adalah Sa’id bin Jubair, pewaris ilmu Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu. Salah seorang yang paling alim di kalangan tabi’in. Beliau ditemani Abdurrahman bin al-Asy’ats ketika melawan pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan lantaran berbuat sewenang-wenang dan keterlaluan dalam melakukan pembunuhan. Pada saat Ibnul Asy’ats terkalahkan dalam perang Dairul Jamajim dan terbunuh, Sa’id tertangkap di Makkah. Gubernur Makkah yang ketika itu dijabat oleh Khalid bin Abdullah al-Qasri yang menangkapnya.
Ia dibawa menghadap kepada Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi.
Lantas Hajjaj bertanya kepadanya, “Siapa namamu?”
Ia menjawab, “Sa’id bin Jubair.”