Jumat, 22 Maret 2013

Sunan Bayat

Setelah insyaf, Adipati Pandanaran banyak mendirikan masjid dan melepaskan semua harta kekayaan untuk menjadi murid Sunan Kalijaga.
Kadipaten Pandanaran, di daerah Semarang, sekian puluh tahun silam pernah diperintah seorang adipati yang sangat kaya seolah memuja harta dunia. Kekayaannya berupa tanah, rumah, ternak. Dialah Ki Ageng Pandanaran. Tanahnya dimana-mana, rumahnya bertebaran, ternaknya memenuhi beberapa kandang. Di setiap rumah pasti ada seorang istri, dan setiap istri pasti melahirkan anak-anaknya. Pendek kata ia sangat kaya raya dan bagaikan konglomerat.
Ki Ageng lebih mengutamakan urusan dagang, jual-beli emas dan perhiasan lainnya, bahan makanan dan ternak. Ia sangat mencintai hartanya, sampai-sampai mengabaikan tugas pemerintahan. Urusan pemerintahan ia percayakan kepada bawahannya yang biasanya ABS alias asal bapak senang.
Pada suatu hari datanglah seorang lelaki tua dan lusuh menghadap Ki Ageng dan menawarkan rumput dengan harga sangat murah. Ia berpikir pastilah Ki Ageng banyak memerlukan rumput untuk makanan ternaknya yang sangat banyak itu. Setiap pikul ia jual dengan harga separuh dari harga pasaran. Tentu saja Ki Ageng senang sekali. “Bodoh amat orang ini,” pikirnya, “Harga di luaran sekian kok hanya dijual hanya separuhnya, apa dia tidak butuh duit?”
Tanpa menawar lagi ia langsung membayar, dan si penjual rumput pun disuruhnya pergi. Setelah ia membawa rumput ke kandang ternak, seorang punggawa diperintah untuk mengecek kondisi rumput. Ketika menghadap Ki Ageng, punggawa itu menyerahkan bungkusan kecil yang ditemukan dalam tumpukan rumput, ternyata bungkusan itu berisi uang sebanyak harga pembelian rumput.
Esok paginya orang itu datang lagi ke hadapan Ki Ageng. Ia datang lebih pagi, membawa rumput lebih segar, dan dalam jumlah lebih banyak. “Di mana gerangan tempat tinggal orang ini, kok sepagi ini sudah datang membawa rumput segar yang lebih banyak?” pikir Ki Ageng. Ia heran apakah ia tidak rugi, karena rumput yang kemaren boleh dibilang tidak dibayar. Bukankah dia kehilangan uang sebanyak harga jualnya?
Keheranan Ki Ageng semakin menjadi-jadi setelah mengetahui tempat tinggal penjual rumput itu di Bukit Jabalkat yang letaknya sangat jauh. Seperti halnya kemarin, Ki Ageng langsung membayar dan memerintahkan orang itu segera pergi setelah membawa rumputnya ke kandang. Tetapi orang itu ternyata tidak segera pergi. Rupanya dia menginginkan sesuatu dari Ki Ageng, ia minta sedekah.
Dasar materialis, Ki Ageng tidak punya pikiran lain. Dengan berat hati ia merogoh kocek, lalu melempar sekeping mata uang sambil marah-marah. Tetapi si penjual rumput sangat tenang, tidak segera memungut uang itu, karena bukan itu yang diperlukannya. Ia membutuhkan sebuah beduk. “Aneh orang ini,” pikir Ki Ageng, “dikasih duit malah minta beduk.” Sementara otaknya mencari nalar permintaan itu, mulutnya memberondongkan umpatan yang tak layak keluar dari mulut seorang Adipati. “Beduk tidak akan mendatangkan uang,” katanya.
Si penjual rumput memperingatkan Ki Ageng agar tidak mengukur segala sesuatu dengan uang. “Tuan Adipati terlalu cinta pada harta benda malah akan membuat kita mencintai kejahatan. Buat hamba uang bukan apa-apa. Kalau mau uang atau harta, sekali cangkul hamba dapat mengeruk emas,” katanya.

Bebatuan Jadi Emas

Mendengar kata-kata itu, Ki Ageng merasa terhina, apalagi hinaan itu datang dari orang kecil macam penjual rumput. Murkanya pun menggelegak. “Buktikan ucapanmu itu!” teriak Ki Ageng. Ia pun memerintahkan seorang punggawa mengambil cangkul. “Kalau betul ucapanmu itu, aku akan berguru kepadamu. Tetapi kalau tidak betul, kamu akan aku hukum karena telah menghina aku,” katanya pedas.
Sambil melafalkan kalimat Bismillah, si tukang rumput itu pun mengayunkan cangkul ke tanah. Tiba-tiba bongkahan tanah dan bebatuan yang terangkat mengeluarkan cahaya berkilauan laksana emas. Menyaksikan kenyataan itu, Ki Ageng terpana bukan kepalang. Ia berdiri terbengong-bengong sehingga tanpa disadari si penjual rumput sudah lenyap dari hadapannya. Setelah sadar, barulah Ki Ageng terperanjat. Si penjual rumput telah pergi entah kemana, jauh meninggalkan kadipaten.
Namun untuk memenuhi janjinya tadi, Ki Ageng segera mengejar, ia baru berhasil mendekati si tukang rumput setelah mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan. Begitu sampai di depan penjual rumput, Ki Ageng langsung berlutut dan mohon maaf atas kelakuannya sambil tak lupa menyatakan niatnya untuk berguru. Ia tidak mau berdiri meski telah disuruh berdiri oleh si tukang rumput.
Si tukang rumput bersedia menerima Ki Ageng sebagai muridnya, dengan syarat Ki Ageng harus menjalankan shalat lima kali, membayar zakat mal (harta benda) membangun masjid. Selain itu, ia harus berguru ke Jabalkat. Ki Ageng menyatakan kesanggupannya dan berjanji akan melaksanakan persyaratan itu.
“Tahukah Ki Ageng dimanakah Jabalkat?” tanya si penjual rumput. Jabalkat adalah tempat tinggal Sunan Kalijaga, yang tidak lain adalah saya sendiri. Setelah itu si tukang rumput, yang tidak adalah Sunan Kalijaga, lenyap dari pandangan.
Sementara Ki Ageng larut dalam keterkejutan luar biasa. Baru kali ini ia mendapat pengalaman aneh seperti itu. Sejak itu, perubahan drastis pun terjadi pada diri Ki Ageng. Ia menjadi sangat dermawan dan tekun melaksanakan ibadah. Beberapa masjid juga didirikan di sekitar Kadipaten Semarang.
Beberapa hari kemudian, dengan ditemani salah seorang istrinya, Ki Ageng pun berangkat ke Jabalkat. Dengan mengenakan pakaian paling sederhana, mereka berjalan kaki sambil membawa tongkat. Tetapi di luar sepengetahuan Ki Ageng, tongkat sang istri, yang dibuat dari sebatang bambu kuning, diisi dengan emas dan permata. Akibatnya ia selalu ketinggalan jauh karena membawa tongkat yang cukup berat. Ketika itulah istri Ki Ageng disatroni tiga orang perampok yang muncul tiba-tiba. Tongkat bambu kuning itu pun berpindah tangan, dan lenyaplah emas serta permata kesayangannya.
“Benar apa kataku, harta hanya menjadi penghalang perjalanan kita,” ujar Ki Ageng.

Jadi Kepala Domba

Selang beberapa saat kemudian, muncullah perampok lain bernama Ki Sambang Dalan. Dengan kata-kata sangat kasar, ia memerintahkan Ki Ageng agar menyerahkan hartanya. Ki Ageng berkata jujur, ia tidak membawa apa-apa. Tetapi hal itu malah menambah kemarahan Ki Sambang Dalan. Ki Ageng yang cuek, dimaki-makinya, tetapi Ki Ageng diam saja dan tetap meneruskan perjalanan. Ki Sambang Dalan pun tak mau kalah licik. Ia mengikuti langkah Ki Ageng sambil mulutnya tetap nyrocos melontarkan sumpah serapah.
“Kamu ini memang keras kepala seperti domba,” tiba-tiba Ki Ageng menyela. Anehnya, tiba-tiba ucapan Ki Ageng menjadi kenyataan. Itu terihat ketika mereka menyeberangi sebuah sungai yang airnya jernih, kepala Ki Sambang Dalan benar-benar berubah menjadi kepala domba. Ki Sambang Dalan ngeri dan khawatir, jangan-jangan badannya juga berubah menjadi badan kambing. Ia lalu minta maaf kepada Ki Ageng, dan mohon agar kepalanya dikembalikan seperti semula.
“Aku tidak bisa berbuat apa-apa, semua itu atas kehendak Allah, maka bertobatlah kepada-Nya,” katanya. Merasa usahanya tidak berhasil, Ki Sambang Dalan memutuskan tetap mengikuti langkah kemana pun Ki Ageng pergi. Setelah berhari-hari, sampailah mereka di Jabalkat. Mereka berhenti dan tinggal selama beberapa hari, karena Sunan Kalijaga tidak selalu berada di suatu tempat dalam waktu lama, ia selalu berdakwah berkeliling, sehingga mendapat julukan Sunan Malaya.
Selama masa penantian itu, Ki Sambang Dalan mendapat tugas dari Ki Ageng untuk mengisi air bak untuk tempat berwudu, tetapi karena bak air wudlu itu sudah tua, setiap kali di isi airnya selalu habis terserap ke dalam tanah. Apalagi sumber airnya jauh di atas bukit, namun Ki Sambang Dalan tidak mengeluh, ia merasa hal itu sebagai ujian atas kesalahannya selama ini.
Tiga puluh hari kemudian, barulah Sunan Kalijaga datang, tentu saja mereka bertiga sangat gembira. Kepala Ki Sambang Dalan tiba-tiba kembali ke bentuk aslinya, sementara bak air wudlu yang semula kosong tiba-tiba penuh. Sejak itu mereka mendapat pendidikan agama dari Sunan Kalijaga hingga menjadi santri yang saleh. Belakangan Ki Ageng Pandanaran ditugasi Sunan Kalijaga berdakwah di daerah Bayat di Klaten, sehingga mendapat sebutan Sunan Bayat. Sedangkan Ki Sambang Dalan mendapat julukan Syekh Domba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar