Jumat, 22 Maret 2013

Sunan Bonang

Umumnya para ahli sejarah berpendapat bahwa walisongo adalah perintis Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Perintis awal da’wah islamiyah itu adalah seorang wali yang bernama Syaikh Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419 M). Beliaulah yang mendirikan pesantren pertama yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur.
Menurut sejarah, Syaikh Maulana Malik Ibrahim yang berdarah Arab Persia, merupakan cikal-bakal para wali. Nama Malik Ibrahim yang sebenarnya adalah Makdum Ibrahim Asmara. Nama Asmara bukan nama Jawa, tapi kependekan dari Samarkandi.

sunan-bonangPara wali di Jawa itu adalah anak cucu Malik Ibrahim. Sunan Ampel dan Sunan Gresik adalah anak Malik Ibrahim, Sedangkan Sunan Bonang adalah anak Raden Rahmat alias Sunan Ampel. Sunan Bonang dilahirkan pada pertengahan abad XV dan wafat pada awal abad XVI.
Istilah walisongo atau sembilan waliyullah menunjuk kepada sembilan pemuka islam yang suci, bersatu, berjuang demi syiar islam. Gelar wali dari kata Auliya’allah, yang berarti dekat dengan Allah atau kekasih Allah yang berperan melanjutkan misi kenabian. Kata “Wali” berasal dari kata Arab, Wala atau Waliya yang berarti karaba (karib, akrab).
Sanga atau Sana?
Kata “sanga” (songo) dari bahasa Jawa berarti sembilan. Angka sembilan dipandang sebagai angka yang unggul, mulia, Benarkah wali berjumlah sembilan?. Jumlah wali sangat banyak, dan hanya Allah yang tahu berapa jumlah sebenarnya. Ada tafsiran yang mengatakan, yang benar adalah wali sana, bukan wali sanga. Kata sana berasal dari bahasa Arab: tsana, yang berarti mulia. Dalam bahasa Jawa ada kata “sana” (sono) yang berarti tempat. Misalnya sasana langen budaya, tempat untuk berolahraga, sasana langen tirta, berarti tempat untuk bermain air (renang). Demikianlah, wali sana, berarti wali yang berkuasa (berpengaruh) di daerah tertentu.
Wali juga digelari susuhunan atau sinuhun, atau pangeran, sebab pengaruh atau kekuasaannya di waliyah tertentu. Karena itulah nama wali umumnya dikaitkan dengan nama tempat tertentu, Sunan Bonang, Sunan Gresik, Sunan Muria dst. Keterangan seperti itu berdasarkan informasi dari kitab walisana, yang ditulis oleh Sunan Giri II. Menurut Kitab Walisana tersebut, para wali di Jawa berjumlah delapan orang: Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati, Sunan Ngudung, Sunan Giri Gajah, Sunan Bonang, Sunan Majagung, Sunan Drajat, dan Sunan Kalijaga.
Wali yang masyhur dengan nama Sunan Bonang, semasa hidupnya menjabat sebagai imam pertama masjid kerajaan Demak. Dalam usia muda Sunan Bonang menggunakan nama Raden Makhdum Ibrahim. Menurut catatan sejarah, Sunan Bonang dan Sunan Kalajaga merupakan tokoh wali yang sangat memperhatikan masalah-masalah seni dan budaya. Kedua tokoh wali inilah yang merintis tradisi ritual maulid Nabi Muhammad saw. Mereka berdua juga merintis tradisi lebaran, hari raya ketupat serta merubah kalender tahun saka menjadi kalender Islam.
Teater tradisional atau seni pertunjukan wayang kulit pun di ubah dan disesuaikan dengan dasar-dasar estetika kesufian (tasawuf). Kelebihan Sunan Bonang dari wali yang lain adalah perhatiannya terhadap seni tulis menulis, atau seni sastra. Tidak hanya itu, Sunan Bonang juga menulis karya sastra religius yang berjudul Suluk Wujil. Sunan Bonang banyak sekali menulis sastra suluk. Suluk adalah genre (jenis) sastra sufistik. Karya-karya lain dari Sunan Bonang adalah Suluk Bentur, Suluk Regol, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk Latri, Suluk Jebeng, Kidung Bonang, dll.
Perhatian Sunan Bonang terhadap musik Jawa juga tidak kecil, dialah yang melakukan inovasi (pembaharuan) terhadap gamelan (instrumen musik jawa). Bilah gambang berjumlah dua puluh. Nama Sunan Bonang juga diabadikan sebagai nama salah satu jenis alat gamelan, yakni Bonang, yang bentuknya seperti gong, dalam ukuran yang jauh lebih kecil.
Sebagai tokoh yang menggemari seni wayang, ia pun sering mementaskan wayang kulit di padepokannya. Lakon yang sering dipentaskan adalah episode-episode dari Mahabrata yang mengisahkan perang antara Pandawa melawan Kurawa. Lakon wayang itu oleh Sunan Bonang telah diberi tafsir keruhanian islam. Perang Brata yuda, perangnya Pendawa melawan Kurawa ditafsirkan sebagai Nafi (peniadaan) melawan itsbat (peneguhan), baik nafi maupun isbat terkandung dalam kalimat Syahadat: La ilaha illa Allah
Suluk Wujil
Salah satu karya Sunan Bonang yang termasyhur berjudul Suluk Wujil. Buku ini diperkirakan ditulis pada abad ke XVII, yakni pada zaman pemerintahan Pangeran Seda Krapyak. Jika orang membaca Suluk Wujil, mungkin sekali bukan karya asli, melainkan salinan dari salinan. Sebab buku tersebut memang sudah berulangkali disalin. Seorang pengamat asing mengatakan bahwa Suluk Wujil berisi ajaran rahasia para wali. Orang Belanda bilang, de geheime leer van Soenan Bonang.
Dikatakan rahasia, sebab berisi ilmu tingkat tinggi tentang agama islam. Rahasia buku ini terletak pada isinya yang sangat penting. Suluk Wujil isinya berbentuk tembang, yakni puisi klasik jawa yang bisa ditembangkan (dinyanyikan). Tembang yang dipergunakan adalah jenis Dandanggula, Mijil dan Aswalalita.
Isinya bertutur tentang seorang bernama wujil, yang semula mengabdi di kerajaan Majapahit. Karena ia ingin menjadi seorang muslim yang baik, ia pun berkelana untuk berguru. Dalam pencarian ilmu itulah akhirnya ia bertemu dengan seorang guru bernama Ratu Wahdat. Setelah sepuluh tahun ia mengabdi sebagai murid, barulah ilmu rahasia diturunkan kepada Wujil.
Ajaran rahasia pertama yang diberikan kepada Wujil adalah bahwa orang hidup didunia harus berhati-hati, tidak boleh lengah, dan tidak boleh bertindak serampangan. Ajaran kedua, mengingatkan , bahwa manusia itu hanyalah makhluk biasa, manusia itu makhluk ciptaan Tuhan, tanpa diciptakan Tuhan, manusia tidak pernah ada.
“Ketahuilah dengan sungguh-sungguh bahwa engkau bukanlah kesejatian dan kesejatian bukanlah engkau.” Ujar sang guru. Selanjutnya kepada Wujil dijelaskan , bahwa barang siapa mengenal diri-sendiri, seolah-olah ia mengenal tuhannya. Selanjutnya kepada Wujil dijarkan cara shalat yang benar.
Menurut sang guru, shalat yang benar, ialah bila orang mengerti siapa yang ia sembah. Bila orang yang menyembah tidak tahu siapa sebenarnya yang ia sembah, maka shalat itu tidak ada artinya. Ajaran selanjutnya ialah bahwa manusia harus mengenal dirinya sendiri dan selalu memuji keagungan Ilahi. Selain itu kepada Wujil diajarkan bahwa orang harus tahu tempatnya sebagai makhluk yang berdoa, dan dimana letak al-khalik yang dituju oleh doa kita.
Barang siapa mengetahui dengan benar mengenai masalah itu, ia berhak menerima anugrah yang besar. Sang guru menjelaskan kepada Wujil, bahwa sifat tuhan itu berbeda dengan sifat manusia. Anehnya ada orang yang mengaku atau merasa tahu dan merngenal tuhannya, tetapi kelakuan dan perbuatannya tidak menunjukkan bahwa ia mengenal Tuhan. Sebab ternyata ia tidak mampu mengendalikan hawa nafsu.
Orang yang mengenal Tuhan, kata sang guru, tidak akan meninggalkan kesalehan dalam hidupnya. Seorang yang mengenal Tuhan, akan mengendalikan hawa nafsunya, siang dan malam. Ajaran selanjutnya adalah tentang bagaimana memuji Allah swt. Menurut sang guru, memuji keagungan Allah di siang maupun malam adalah sangat baik. Namun pujian yang baik itu ada syarat-syaratnya, yakni harus sesua dengan syariat. Menurut sang guru, pujian yang dilakukan sesuai aturan sama nilainya dengan sembahyang selama dua belas tahun.
Ada juga pengabdian yang dilakukan dalam waktu sesaat namun bernilai besar, yakni tafakkur. Tafakkur yang dilakukan secara benar, nilainya sama dengan sembahyang selama dua belas tahun. Wujil juga menerima paparan mengenai arti kebaktian yang unggul. Manusia yang sudah memahami arti kebaktian yang unggul, akan berbakti tidak mengenal waktu. Pengebdiannya tidak akan terputus-putus, bahkan seluruh perbuatan dan tingkah lakunya ditujukan sebagai pengabdian terhadap Allah SWT.
Kemudian sang guru mengajar Wujil untuk bisa mengekang beberapa jenis hawa nafsu. Pertama, mengekang nafsu bicara. Sebab sebaiknya orang tidak terlalu banyak bicara. Kedua, jangan memaksakan kehendak sendiri kepada orang lain. Ketiga, jangan hanya mengikuti kemauan sendiri saja. Menurut sang guru, mengikuti kehendak sendiri saja merupakan jalan yang keliru.
Menjelang akhir ajarannya, sang guru menjelaskan filsafat kematian kepada Wujil. Intinya, mati itu tidak mudah, banyak orang yang merasa sudah siap untuk mati , tetapi sebenarnya ia belum siap menerima kematiannya. Sang guru pun menjelaskan, bahwa kematian tidak perlu dijauhi, sebab sesungguhnya kematian itu adalah tujuan bagi orang yang berbakti kepada Allah yang maha kuasa. Jika orang masih menghitung-hitung kepentingan duniawi, tidak akan menemukan kematian yang sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar