Para ulama berbeda pendapat tentang hukum puasa Rajab.
“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa. Hanbal
mengutip: “Makruh, dan meriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar dan Abu
Bakrah.” Ahmad berkata: “Memuku seseorang karena berpuasa Rajab”. Ibnu
Abbas berkata: “Sunnah berpuasa Rajab, kecuali satu hari atau beberapa
hari yang tidak berpuasa.” Kemakruhan puasa Rajab bisa hilang dengan
berbuka (satu hari atau beberapa hari), atau dengan berpuasa pada bulan
yang lain dalam tahun yang sama. Pengarang al-Muharrar berkata:
“Meskipun bulan tersebut tidak bergandengan.”
Pertama, mayoritas ulama dari kalangan Madzhab Hanafi, Maliki dan
Syafi’i berpendapat bahwa puasa Rajab hukumnya Sunnah selama 30 hari.
Pendapat ini juga menjadi qaul dalam madzhab Hanbali.
Kedua, para ulama madzhab Hanbali berpendapat bahwa berpuasa Rajab
secara penuh (30 hari) hukumnya makruh apabila tidak disertai dengan
puasa pada bulan-bulan yang lainnya. Kemakruhan ini akan menjadi hilang
apabila tidak berpuasa dalam satu atau dua hari dalam bulan Rajab
tersebut, atau dengan berpuasa pada bulan yang lain. Para ulama madzhab
Hanbali juga berbeda pendapat tentang menentukan bulan-bulan haram
dengan puasa. Mayoritas mereka menghukumi sunnah, sementara sebagian
lainnya tidak menjelaskan kesunnahannya.
Berikut pernyataan para ulama madzhab empat tentang puasa Rajab.
Madzhab Hanafi
Dalam al-Fatawa al-Hindiyyah (1/202) disebutkan: “Macam-macam puasa yang
disunnahkan adalah banyak macamnya. Pertama, puasa bulan Muharram,
kedua puasa bulan Rajab, ketiga, puasa bulan Sya’ban dan hari Asyura.”
Madzhab Maliki
Dalam kitab Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/241), ketika menjelaskan puasa yang disunnahkan, al-Kharsyi berkata:
“Muharram, Rajab dan Sya’ban. Yakni, disunnahkan berpuasa pada bulan
Muharram – bulan haram pertama -, dan Rajab – bulan haram yang
menyendiri.” Dalam catatan pinggirnya: “Maksud perkataan pengaram, bulan
Rajab, bahkan disunnahkan berpuasa pada semua bulan-bulan haram yang
empat, yang paling utama bulan Muharram, lalu Rajab, lalu Dzul Qa’dah,
lalu Dzul Hijjah.”
Pernyataan serupa bisa dilihat pula dalam kitab al-Fawakih al-Dawani
(2/272), Kifayah al-Thalib al-Rabbani (2/407), Syarh al-Dardir ‘ala
Khalil (1/513) dan al-Taj wa al-Iklil (3/220).
Madzhab Syafi’i
Imam al-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
(6/439), “Teman-teman kami (para ulama madzhab Syafi’i) berkata: “Di
antara puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul
Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang paling utama adalah
Muharram. Al-Ruyani berkata dalam al-Bahr: “Yang paling utama adalah
bulan Rajab”. Pendapat al-Ruyani ini keliru, karena hadits Abu Hurairah
yang akan kami sebutkan berikut ini insya Allah (“Puasa yang paling
utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan Muharram.”)”.
Pernyataan serupa dapat dilihat pula dalam Asna al-Mathalib (1/433),
Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah (2/53), Mughni al-Muhtaj (2/187), Nihayah
al-Muhtaj (3/211) dan lain-lain.
Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata dalam kitab al-Mughni (3/53): “Pasal.
Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah puasa. Ahmad bin
Hanbal berkata: “Apabila seseorang berpuasa Rajab, maka berbukalah dalam
satu hari atau beberapa hari, sekiranya tidak berpuasa penuh satu
bulan.” Ahmad bin Hanbal juga berkata: “Orang yang berpuasa satu tahun
penuh, maka berpuasalah pula di bulan Rajab. Kalau tidak berpuasa penuh,
maka janganlah berpuasa Rajab terus menerus, ia berbuka di dalamnya dan
jangan menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.”
Ibnu Muflih berkata dalam kitab al-Furu’ (3/118):
Tidak ada komentar:
Posting Komentar