Jumat, 29 Maret 2013

Abdurrahman Al-Ghafiqi, Terulangnya Duka di Perang Uhud (5 – habis)

Pada hari-hari berikutnya pertempuran berlangsung makin seru. Kaum muslimin menggempur pasukan Perancis dengan ganas dan berani. Perang berlangsung selama tujuh hari dengan dahsyat dan seru. Pada hari kedelapan kaum muslimin melancarkan serangan mendadak sehingga mereka dapat melumpuhkan barisan tengah. Waktu itu, kaum muslimin melihat cahaya kemenangan seperti cahaya subuh yang nampak di kegelapan.
Namun waktu itulah, sekelompok tentara Perancis menyerang gudang penyimpanan harta rampasan kaum muslimin. Ketika kaum muslimin melihat harta rampasannya hanpir berada di tangan musuh, banyak dari mereka yang kembali. Barisan tentara kaum muslimin menjadi kocar kacir. Panglima Al-Ghafiqi memompa semangat pasukannya untuk terus menyerang dan menutup celah-celah yang dapat ditembus musuh.

Pelana kuda yang tadinya berwarna putih kini menjadi hitam karena banyaknya serangan yang ia lancarkan. Ketika sedang bertempur itulah sebatang anak panah menancap ke tubuhnya sehingga ia jatuh dari punggung kudanya, diam tak bergerak, menjadi syahid di medan laga.
Melihat kejadian itu, ketakutan mulai merasuki jiwa pasukan muslimin. Mengetahui hal itu, tentara musuh berubah menjadi ganas dan bertambah keberaniannya.
Ketika hari subuh, pasukan Islam telah menarik diri dari Kota Poitiers. Karel Martel tidak berani mengejar tentara muslim yang mundur itu. Padahal seandainya ia terus melakukan pengejaran tentara pasti muslim terancam kalah. Namun dia tidak melakukan hal itu, karena khawatir bahwa panarikan pasukan itu merupakan jebakan untuk menyerang balik.
Hari Balathu Asy-Syuhada menjadi hari yang sangat berharga dalam sejarah. Hari itu kaum muslimin telah menghapus salah satu cita-cita luhur dan kehilangan salah satu seorang pahlawan besar. Duka di hari Perang Uhud terulang kembali. Pasukan Islam kalah karena lebih mementingkan harta rampasan.
Bukan hanya kaum muslimin yang kecewa dengan kegagalan itu, sebagian cendikiawan Perancis pun turut merasakan duka mendalam, sebab mereka melihat bahwa kemenangan nenek moyang mereka atas tentara muslim di Poitiers merupakan bencana yang menghancurkan kemanusiaan. Mendatangkan kerugian besar bagi Eropa dalam membangun peradabannya.
Berikut pernyataan Henry de Syamboun, seorang cendikiawan Prancis, tentang pertempuran Balathu Asy-Syuhada:
“Kalau tidak karena kemenangan Karel Martel yang biadab atas orang Islam Arab di Perancis, niscaya negara kita tidak akan mengalami nasib buruk dan tidak banyak menelan korban yang mendorong tumbuhnya rasa fanatik terhadap agama dan aliran. Kalau tidak karena kemenangan ganas itu atas kaum muslimin, niscaya Spanyol sudah dapat menikmati toleransi Islam dan selamat dari genggaman penguasa diktator. Perkembangan kebudayaan kita tidak terlambat selama delapan abad, meski terdapat perbedaan perasaan dan pendapat di sekitar kemenangan kita itu. Sebab kita memperoleh kebudayaan dan peradaban yang terpuji dari kaum muslimin, baik dari segi ilmu, kesenian, maupun industri. Sebenarnya mereka mengajak kita untuk mengakui bahwa mereka itu mempunyai kemanusiaan yang sempurna saat mana kita memiliki sifat-sifat biadab. Mereka membuat kita mengakui pada hari ini bahwa masa lalu kita telah terulang kembali. Sedangkan kaum muslimin telah sampai pada masa ini, sementara kita masih berada pada abad pertengahan.”
Habis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar