Jumat, 29 Maret 2013

Pangeran Jayakarta, Membumihanguskan Sunda Kelapa

Ia seorang panglima yang mampu mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Juga seorang Ulama Muda yang berhasil mensyiarkan Agama Islam lebih marak di Tanah Jawa.
Awal abad ke 16, seorang Ulama Muda asal Samudera Pasai baru saja pulan dari Mekkah. Seperti pemuda Aceh lainnya, ia tidak bisa lagi menginjakkan kakinya ditanah kelahirannya, untuk menyebarkan agama Islam. Pasalnya, Portugis sangat ketat mengawasi masyarakat bumiputra yang mensyiarkan agama Islam, lebih-lebih yang baru kembali dari tanah suci. Ulama muda itu adalah Fadhilah Khan, orang Portugis mengucapkannya dengan nama Fatahillah atau Falatehan.

Portugis memang berbeda dengan Belanda, tidak ingin ajaran Islam makin meluas. Mereka khawatir, melalui ajaran-ajaran Islam yang mulai banyak dianut, akan tumbuh semangat persatuan, antar kerajaan kecil, yang pada gilirannya akan berhimpun menjadi sebuah kekuatan besar. Untuk itu, tidak ada sebuah celah sedikitpun yang disisakan Portugis bagi upaya meluasnya hubungan antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya. Demikian pula terhadap kedatangan tokoh agama, seperti tokoh ulama muda Fadhilah Khan.
Namun niat, tekad, dan semangat pemuda ini untuk mensyiarkan agama Islam, tidak mengendur sedikitpun. Sebelum berangkat ke Mekah, ia sudah tahu jalinan hubungan baik antar kerajaan Samudera Pasai dan Kerajaan Demak di Jawa. Ia berpikir, kelak jika tidak bisa masuk ke tanah kelahirannya usai menuntut ilmu di Mekah, ia bertekad menuju Demak. Pada masa itu hanya ada tiga kekuatan Islam yang tumbuh dan berkembang di tanah Jawa, yaitu Demak, Banten, dan Cirebon, di wilayah Utara Jawa Barat.
Tetapi setelah dipertimbangkan Fatahillah memilih singgah lebih dulu di kerajaan Cirebon sebelum ke kerajaan Demak, sebab kerajaan ini dianggap paling aman. Kekuasaan Portugis di wilayah ini kurang kuat. Armadanya hanya mondar-mandir dari Sunda Kelapa ke pelabuhan Cirebon tanpa menetap.
Tanpa banyak rintangan, Fatahillah berhasil menyusup ke Cirebon. Saat itu syiar Islam sudah cukup marak di daerah ini. Berkat kehadiran Sunan Gunung Jati dan Syekh Siti Jenar kehadiran Fatahillah tentu saja menambah semangat perjuangan. Bersama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, ia mensyiarkan agama Islam di tanah Sunda ini, bahkan ia sempat menjadi warga kehormatan di kerajaan Cirebon.
Cukup lama pemuda Aceh ini menetap di Cirebon. Ia menikah dengan Ratu Ayu, anak pasangan Syarif Hidayatullah dan Nyai Kawunganten asal Banten. Istri Fatahillah kemudian dikenal dengan nama Putri Wulung Ayu.
Setelah cukup lama menyebarkan agama Islam di Jawa Barat bersama sang mertua, niat utama Fatahillah untuk menuju Demak akhirnya tercapai juga. Itu dimungkinkan karena Kharisma dirinya yang telah lebih dulu masuk ke Demak.
Sultan Trenggana yang memimpin kerajaan Demak, sangat senang atas kehadiran Fatahillah. Ia merasa memperoleh petujuk dari Allah SWT tentang figur yang cocok untuk memimpin serangan  ke Sunda Kelapa, kota pelabuhan terpenting bagi kerajaan Hindu, Pajajaran (Bogor). Munculnya Fatahillah dapat memperkuat jajaran pertahanan Islam di wilayahnya sehingga Demak dapat menyerang Sunda Kelapa bersama sisa pasukan Pangeran Laut.
Dalam waktu singkat, Fatahillah mulai dikenal masyarakat sebagai ulama muda yang berpengaruh dengan pikiran yang cemerlang. Sultan Trenggana memperlakukannya seperti saudara kandung, bukti kasih dan sayang Sultan Demak ini diwujudkan dengan menikahkan Fatahillah dengan adik perempuannya, putri Pamboya atau Ratu Ayu Pembayun. Sultan Trenggana tahu, Fatahillah telah mempunyai isteri di Cirebon, tapi perkawinan Fatahillah dengan adiknya itu tidak akan memperkeruh suasana, bahkan akan memperkuat hubungan keislaman dan jalinan persaudaraan dengan Cirebon. Sang mertua, Sunan Gunung Jati malah merestui pernikahan itu.
Sultan Trenggana memberikan persetujuan terhadap rencana Fatahillah untuk mengusir Portugis yang bercokol di tanah Sunda atau Sunda Kelapa. Tapi sebelumnya ia akan mensyiarkan Islam di Banten dan menselaraskan pandangan dengan adik iparnya, Sultan Hasanuddin atau Pangeran Sabakingking, yang memerintah Banten. Bagi Fatahillah penyelarasan pandangan dengan kesultanan Banten itu sangat penting. Sebab ia khawatir, Banten akan jalan sendiri menyerang Portugis.
Pada 22 Juni 1527, pasukan gabungan dari Demak, Cirebon dan Banten, di bawah pimpinan Fatahillah berhasil merebut Banten. Kelak tanggal 22 juni dijadikan sebagai hari jadi kota Jakarta. Fatahillah kemudian mengganti nama Bandar kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti kejayaan dan kesejahteraan, atau kemenangan yang sempurna. Kebetulan para pelaut bangsa Eropa sering menyebut Bandar ini dengan Yacarta, dan penduduk setempat menyebutnya dengan Jakarta. Namun pengamat sejarah Prof. DR. Ayatrohaedi, nama Jakarta adalah pilihan Sunan Gunung Jati, penguasa Caruban (Cirebon) sebagai atasan Fatahillah, yang menjadi panglima pasukan gabungan itu.
Sejak saat itu, berakhirlah masa Sunda Kelapa, dan mulailah masa Jayakarta yang berlangsung hampir satu abad (1527-1619). Fadhilah Khan diangkat sebagai penguasa Jayakarta yang pertama dengan gelar Adipati sampai ia meninggal pada tahun 1570. setelah itu jabatan Adipati Jayakarta dipegang oleh Ki Bagus Angke (1570-1596). Pangeran Jayakarta Wijayakrama (1596-1619). Pada tahun 1619, VOC membumihanguskan Jayakarta, dan di atas puingnya didirikan kota baru yang mula-mula bernama Nieeuw Hoors, kemudian diganti menjadi Batavia.
Pada masa pemerintahan Fatahillah itulah, pelabuhan Sunda Kelapa mampu menyaingi kejayaan pelabuhan Malaka yang lebih dulu menjadi pelabuhan perantara bagi perdagangan dunia. Posisi Sunda Kelapa semakin penting dan ramai sehingga hasil bumi Pejajaran bisa lebih cepat diangkut ke Sunda Kelapa sebagai komuditas yang siap jual. Pasalnya Fatahillah mampu membuat jalan tembus dengan membuka rawa-rawa di daerah Bogor sekarang. Ia juga menghapus tindakan monopoli perdagangan. Semua pedagang dari semua bangsa bebas berniaga langsung dari tangan pertama, yaitu para pedagang bumiputra yang mendapat bantuan dari penguasa asal Demak itu. Banten dan Cirebon pun berubah menjadi Bandar Metropolitan, sementara Jayakarta segera dijadikan daerah utama dalam koordinasi Demak.
Fatahillah juga meningkatkan hubungan dengan Kesultanan Banten, seperti halnya dengan Cirebon dan Demak. Eratnya hubungan itu hingga sampai pada pengganti Sultan Maulana Hasanuddin, yaitu Sultan maulana Yusuf, putra Sultan Maulana Hasanuddin.
Fatahillah berhasil memperluas wilayahnya sampai Grogol dan Slipi di Jakarta Barat. Wilayah Pulo Gadung sampai Jatinegara di Jakarta Timur Sekarang. Wilayah Pasar Minggu, Depok hingga Bogor diluar Jakarta Selatan, serta wilayah Cilincing di wilayah Jakarta Utara.
Dalam masalah birokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan Adipati sebagai penguasa yang memperoleh otonomi dari Demak. Dengan otonomi yang sangat luas itu termasuk dengan hal yang berkenaan dengan transaksi perniagaan dan pengembangan kota.
Fatahillah membangun masjid yang cukup besar di Muara Sungai Ciliwung, yang dikenal dengan masjid Luar Batang, sebagai tempat berkumpulnya para ulama yang sebelumnya datang ke masjid agung para wali di Demak.
Fatahillah memperkuat tahta dengan bersama empat Pangeran pembantu setianya, Pangeran Wijayakrama, dan Arya Adikara asal Banten, Wijaya Kusuma asal Demak, serta Pangeran Zakaria. Arya Adikara adalah putra Wijayakrama yang sebelumnya bernama Kawis Adimarta. Sedang Wijayakrama adalah putra Ki Tubagus Angke yang pernah mempin serangan Sunda Kelapa.
Keempat pangeran itu sengaja diberi julukan yang sama dengan julukan Fatahillah, yaitu Pangeran Jayakarta, untuk mengelabui Belanda. Fatahillah mempercayakan kepada keempat Pangeran yang dikepalai oleh Pangeran Zakaria untuk mengatur kekuasaan berikutnya di Jayakarta sebelum akhirnya ia sendiri menghilang entah kemana.
Fatahillah juga merahasiakan pengangkatan keempat Pangeran ini, agar perjuangannya melawan penjajah bisa terus bergema. Rahasia itu berhasil dijaga para pengikut setianya untuk waktu yang cukup lama, sehingga banyak pihak terkecoh dan kecewa. Belanda menduga, Pangeran Jayakarta tetap hidup dan menjadi bayangan yang sangat menakutkan. Berita-berita kematian Pangeran Jayakarta tidak dipercaya.
Di kalangan rakyat, kematian Fatahillah tetap menjadi sesuatu yang misterius hingga terjadi serangan Belanda. Sampai saat ini rakyat hanya mengenal satu makam Fatahillah alias Pangeran Jayakarta, yaitu di bilangan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur. Namun sebagian ahli sejarah menyatakan, makam itu bukan makam Fatahillah, melainkan makam Pangeran Zakaria.
Pada 1620, sebelum kejayaannya berakhir, Pangeran Zakaria membangun sebuah masjid di kawasan yang sekarang ini disebut Jatinegara Kaum. Masjid yang awalnya seluas 100 meter persegi itu merupakan tempat pertahanan Pangeran Jayakarta. Kepada keluarganya ia minta agar merahasiakan keberadaannya. Tempat itu menjadi komunitas untuk menyiarkan agama Islam, termasuk warga Jatinegara Kaum.
Pembukaan kawasan itu terjadi pada 1619 ketika Jayakarta jatuh ke tangan Belanda. Pangeran Jayakarta bersembunyi di area hutan Jati dan menyusun kekuatan untuk menghadapi Belanda. Demikian pentingnya tempat persembunyian ini, sampai-sampai penduduk Jatinegara Kaum dilarang menikah dengan orang di luar komunitas tersebut, sehingga kekeluargaan yang kental. Dan masjid yang semula tak bernama itu kemudian dikenal sebagai masjid Pangeran Jayakarta atau masjid Jatinegara Kaum.
Di komplek masjid yang sekarang luasnya 7.000 meter itu dimakamkan lima petinggi, yakni Pangeran Ahmad Djakerta, Lahut Djakerta, Soeria bin Pangeran Padmanegara, serta suami istri Ratu Rupiah putri dan Pangeran Sageri. Selebihnya adalah makam keluarga beserta kerabat yang masih keturunan Pangeran Jayakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar