Jumat, 29 Maret 2013

Pangeran Suriansyah, Raja Islam Pertama di Kalimantan

Kehadiran Islam di Kalimantan pada Abad ke 15 tidak lepas dari peranan Sunan Giri dan Sunan Bonang dari Tuban Jawa Timur
Sampai hari itu, ketika abad ke 15 berangsur-angsur mengakhiri penanggalannya. Awan hitam masih menyelimuti udara Kerajaan Daha di Kalimantan. Carut marut perang saudara yang melibatkan Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudra tengah menunjukkan wajahnya yang garang.
Pangeran Tumenggung adalah penguasa Kerajaan Daha, sedangkan Pangeran Samudera, keponakannya sendiri, yang sekaligus cucu Pangeran Sukarama, Raja Daha Pertama (1555-1585), karena ibu Pangeran Samudera, putri Galuh adalah anak Pangeran Sukarama yang dinikahkan dengan Raden Menteri Jaya, putra Raden Bangawan, saudara kandung Pangeran Sukarama. Jadi kedua orang yang bersengketa itu masih mempunyai pertalian darah, karena Pangeran Tumenggung adalah anak Paneran Sukarama juga.

Perang saudara tersebut rupanya dipicu oleh niat jahat Pangeran Tumenggung yang akan membunuh kakaknya, Pangeran Mangkubumi, yang ketika itu sudah memerintah selama tiga tahun (1585-1588). Pangeran Samudera yang saat itu masih kecil, diungsikan ke Kuwin, dekat Banjarmasin, karena saat itu ia sudah diangkat sebagai putra mahkota.
Dengan terbunuhnya Pangeran Mangkubumi, tahta kerajaan jatuh ke tangan Pangeran Tumenggung. Tetapi selama pemerintahannya, situasi Negara sangat rawan, sehingga tidak mungkin menjalankan pemerintahan dengan baik. Ia kemudian memindahkan kerajaan dari Daha ke Danau Pagang, dekat Amuntai. Sementara itu Pangeran Samudera telah tumbuh dewasa, dengan bantuan orang-orang kepercayaan ayahnya dan Mahapatih, Patih Masih, ia melakukan serangan terhadap pamannya, dan berhasil menyingkirkan Pangeran Tumenggung yang telah memerintah selama tujuh tahun (1588-1595).
Mahapatih Patih Masih adalah orang kedua pada masa pemerintahan Pangeran Tumenggung. Ia konon sangat berwibawa dan berjasa menjalankan roda pemerintahan sehingga Daha terkenal aman, tentram. Namun ia tidak berpihak kepada Tuannya, Pangeran Tumenggung, melainkan kepada Pangeran Samudera.
Dalam perang saudara itu, Pangeran Samudera mendapat dukungan dari umat Islam, mereka itu adalah orang-orang Kalimantan yang menjadi santri Sunan Giri dan Sunan Bonang di Jawa Timur serta pedagang Kalimantan yang sering berniaga ke Tuban dan Ampel, dan tentara Demak yang datang ke Kalimantan dari Gresik, Tuban, Demak dan Jepara. Perang saudara ini sangat terkenal dalam sejarah Kalimantan. Penduduk Kalimantan sudah mengenal Islam sejak berdirinya kerajaan Demak. Karena itu kemudian mereka berlayar ke Jawa dan belajar agama kepada Sunan Giri di Tuban dan Sunan Bonang, berkumpul dengan para santri dari Sulawesi dan Maluku.
Pada tahun 1595 Pangeran Samudera di nobatkan sebagai Raja Daha sesuai dengan wasiat kakeknya, Pangeran Sukarama. Ia kemudian masuk Islam dan berganti nama menjadi Pangeran Suriansyah dan memindahkan ibukota kerajaan dari Daha ke Bandar Masih atau Banjarmasin. Sisa kekuasaan dan pemerintahan Pangeran Tumenggung di Danau Pagang disatukan dengan kerajaan Banjar. Pangeran Tumenggung dibiarkan melarikan diri, tidak dibunuh dan tidak dipaksa menukar agamanya.
Dengan berdirinya kerajaan Banjar di bawah pemerintahan Pangeran Suriansyah, perkembangan agama Islam menunjukkan kemajuan yang cukup berarti. Penduduk Kalimantan yang semula memeluk paham Animisme, Hindu dan Budha itu berangsur-angsur beralih memeluk agama Islam.
Suriansyah kemudian mengubah gelar menjadi Sultan pertama di Kalimantan. Pada tahun 1612, ibukota Kerajaan dipindahkan lagi ke Kayu Tangi, Teluk Selong, Martapura.
Sultan Suriansyah memperoleh banyak gelar, antara lain, Panembahan Batu Hirang, Panembahan Batu Putih, dan Panembahan Marhum. Konon ia meninggal pada tahun 620. sepeninggal Sultan Suriansyah, kerajaan Banjar masih diperintah oleh sebelas orang Sultan, yaitu Sultan Rahmatullah (1820-1642), Sultan Hidayatullah (1642-1640), Sultan Musta’id Billah (1650-1678), Sultan Inayatullah (1678-1685), Sultan Sa’dillah (1685-1700), Sultan Tahlilillah (1700-1745), Sultan Tamjidillah (1745-1778), Sultan Tahmidillah (1778-1808), Sultan Sulaiman (1808-1825), Sultan Adam Al-Wasi’ Billah (1825-1857), dan Pangeran Tamjidillah (1657-1859) sebagai Sultan terakhir kerajaan Banjar, karena sejak 1 Juni 1860 kalimantan di duduki oleh Belanda.
Kemajuan Islam di Kalimantan mencapai puncaknya setelah lahirnya ulama besar maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang hidup selama 102 tahun (1710-1812). Beliau mendampingi empat orang Sultan, yaitu Sultan Tahlilillah, Tamjidillah, Tahmidillah dan Sultan Sulaiman.
Bahkan Sultan Tahlilillah tercatat sebagai orang yang menemukan Muhammad Arsyad ketika masih berumur delapan tahun di desa Lu Gabang. Sultan sangat tertarik kepada anak itu karena kecerdasannya sehingga ia diangkat sebagai anak. Arsyad adalah anak pasangan Abdullah dan Aminah, kemudian ia disekolahkan sampai ke Mekah dan Madinah, pulang dari sana, dengan bergelar tuan guru, ia mendirikan pondok pesantren. Pada masa Sultan Sulaiman, dialah yang kemudian dikenal sebagai maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang lahir pada Kamis 13 Shafar 1122, dan wafat pada tanggal 6 Syawal 1227.
Al-Banjari menulis beberapa buku agama yang sangat fundamental seperti Tahfatur Raghibin, Usuluddin, Tasawuf, An-Nikah, Al-Raid, dan Sabilal Muhtadin, yang sangat terkenal di dunia Islam. Nama Sabilal Muhtadin kemudian diabadikan sebagai nama Masjid Raya Banjarmasin.
Beliau menurunkan anak cucu yang menjadi penerusnya sebagai ulama, Dai, Mubalig, dan pengasuh Pondok Pesantren di Pulau Kalimantan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar