Jumat, 29 Maret 2013

Pangeran Diponegoro, Menentang Keraton yang Mendukung Penjajah (Habis)

Pada tanggal 5 April 1830, Pangeran Diponegoro dan pengikutnya diangkut dengan Kereta Api menuju Gedung Karesidenan di Kota Semarang. Dari Kota ini dia diangkut dengan menggunakan kapal Korvet Pollux menuju Batavia. Diperkirakan Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada tanggal 11 April 1830.
Di Batavia, Pangeran Diponegoro disekap dalam ruang tahanan selama tiga minggu di lantai dua gedung Stadhuis Batavia, kini bernama Musium Sejarah Jakarta, sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Pada 30 April 1830, keputusan keluar, Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Ratnaningsih, Tumenggung Dipokusumo dan Isteri, serta para pengikut lainnya, seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno, dibuang ke Manado. Akhirnya pada 3 Mei 1830, Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya diberangkatkan ke Manado dengan menggunakan Kapal Pollux.

Pada tahun 1834, Belanda memindahkan pengasingan Pangeran Diponegoro ke benteng Roterdam di Makassar. Benteng ini terkenal dengan nama benteng Ujungpandang, di buat oleh Sultan Hasanuddin kemudian jatuh ke tangan Belanda. 25 tahun Pangeran Diponegoro hidup terasing di dalam benteng Rotterdam. Pada hari-hari pengasingannya itu, ia menulis riwayat perang yang dialaminya. Buku yang di tulisnya itu akhirnya terkenal dengan nama “Serat Babad Diponegoro”. Ia wafat pada hari Senen 8 Januari 1855, dalam usia 73 tahun. Jenazahnya di kuburkan di luar benteng Rotterdam, di kampung Melayu sebelah utara Ujungpandang.
Lahir pada 11 November 1785 di Istana Keraton Yogjakarta. Ia anak sulung pasangan Hamengku Buwono III dan Raden Ayu Mangkarawati. Saat lahir ia diberi nama Raden Mas Ontowiryo, kelak mendapat gelar Pangeran Diponegoro.
Sesuai dengan amanat kakeknya, Pangeran Mangkubumi atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Hamengku Buwono I, sang neneknyalah (Ratu Ageng) yang mengasuh Raden Mas Ontowiryo.
Sekitar 10 tahun Raden Mas Ontowiryo tinggal di Istana Kerajaan. Di sana, ternyata sering terjadi perselisihan antara Ratu Ageng dan putra Sulungnya, Sultan Hamengku Buwono II, maka Ratu Ageng mengalah dan meninggalkan Istana dengan memboyong Raden Mas Ontowiryo. Mereka kemudian tinggal di Desa Tegalrejo. Karena dibesarkan dalam lingkungan rakyat kecil, tumbuhlah dalam jiwanya rasa kepedulian terhadap orang-orang kecil, rasa keadilan, rasa belas kasih kepada kaum miskin papa.
Setelah tumbuh dewasa, Raden Mas Ontowiryo yang kemudian bergelar Pangeran Diponegoro makin kecewa melihat pembesar-pembesar Belanda duduk sejajar dengan Sultan. Pangeran Diponegoro menganggap semua itu sebagai merosotnya martabat kerajaan dan wibawa Sultan. Suasana makin bertambah parah dengan kebiasaan baru kerabat keraton yang suka minum-minuman keras. Sementara Pangeran Diponegoro sudah tegak (bersikap luhur) menyerahkan gelar mahkotanya kepada adiknya yang masih kecil, Sultan Hamengku Buwono IV. Pangeran Diponegoro kemudian lebih banyak mengasingkan diri di tempat-tempat sepi, seperti di gua-gua di pantai selatan. Di tempat seperti inilah ia menemukan ketenangan batin. Meski demikian, ia merasa harus mengembalikan martabat Mataram dan membebaskan rakyat dari ketidak adilan dan kesengsaraan. Tak ada jalan lain, kecuali dengan harus mengusir penjajah.
Tanggal 23 Mei 1823, Pangeran Diponegoro menggalang kekuatan dengan para alim ulama dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di wilayah mataram. Orang pertama yang dikunjungi adalah kiai Abdani dan Kiai Anom di Bayat, Klaten. Ia mendapat dukungan sekaligus tambahan ilmu kedigdayaan. Selanjutnya ia bersama Pangeran Mangkubumi berkunjung ke Sawit, Boyolali untuk menemui Kiai Mojo, seorang Kiai kepercayaan Kanjeng Susuhunan Pakubuwono IV Kiai Mojo pun setuju dan mendukung penuh perjuangan Pangeran Diponegoro. Dengan diantar Kiai Mojo, Pangeran Diponegoro menemui Tumenggung Prawirodigdoyo di Gagatan. Tumenggung gagatan ini adalah orang kepercayaan Susuhunan Paku Buwono VI. Pada tahun 1824, atas saran Kiai Mojo dan Tumenggung gagatan, Pangeran Diponegoro menemui Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI. Ternyata Raja Surakarta ini, sangat mendukung perjuangan pamannya. Ia tidak hanya memberi dukungan dalam bentuk dana perang, tapi juga pasukan-pasukan Keraton dan para Senopati terpilih disediakan.
Pangeran Diponegoro menghimpun semua kekuatan untuk mengusir Belanda. Terjadilah ketegangan antara rakyat dan antek-antek Belanda. Penyebabnya adalah Patih Danurejo IV mendapat persetujuan dari Residen Smissert atas usulannya membuat jalan yang menghubungkan bagian selatan Yogjakarta dengan bagian utara. Dari pasar Pakuncen di sebelah barat Yogjakarta, akan dibuat jalan menuju selatan dan utara. Jalan arah selatan dengan melalui Selarong di lanjutkan sampai Kali Progo. Sedang arah utara akan melalui Desa Tompean, Tegalrejo, kemudian bersambung dengan jalan dari Yogjakarta ke Muntilan. Di Desa Tompean inilah, terdapat tanah milik leluhur Diponegoro. Patih Danurejo IV pun segera membuat patok-patok jalan yang hendak dibangun itu tanpa persetujuan rakyat lebih dahulu. Karuan saja rakyat marah dan dongkol.
Kebetulan Pangeran Diponegoro menyempatkan diri mampir ke tanah milik leluhurnya itu. Ia juga terkejut melihat patok-patok jalan sudah tertancap di tanah miliknya. “Siapa yang menancapkan patok-patok itu, paman Mangunharjo?” Tanya Pangeran Diponegoro kepada orang kepercayaan ini. “Patih Danurejo,” jawab Mangunharjo.
Pangeran Diponegoro pun menyuruh mencabut semua patok itu, termasuk yang ada pada seluruh tanah warga Tompean. Karuan saja Patih Danurejo IV marah dan kebenciannya terhadap Pangeran Diponegoro semakin menjadi-jadi. Hanya Pangeran Diponegoro lah yang awalnya berani mengecam dan menentang secara terang-terangan segala peraturan tindakan Keraton yang merugikan rakyat. Tak mengherankan bila Patih Danurejo IV dan Belanda selalu berusaha menyingkirkan Pangeran Diponegoro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar