Sabtu, 06 April 2013

Al-Baqarah Ayat 36-39

Bersalahkah Nabi Adam AS ?
 “Lalu keduanya digelincirkan oleh syetan dari syurga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfiman, “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai  waktu yang ditentukan.” Kemudian Adam menerima beberapa Kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.


Kami berfirman, “Turunlah kamu semua dari syurga itu. Maka jika datang petunjukKu kepadamu, lalu siapa yang menerima petunjukKu, maka mereka tidak ada ketakutan dan tidak ada kesusahan.”

“Sedangkan orang-orang yang kafir dan mendustakan petunjuk Kami mereka itu penghuni neraka, kekal di dalamnya.”
Ayat-ayat ini masih berkait dengan edisi lalu, mengenai pertarungan antara syetan dengan Adam as. Kegagalan Adam as, sesungguhnya bagian dari rahasia-rahasia Allah swt., kalau tidak sama sekali disebut sebagai bagian dari “sandiwara Ilahiyah”, untuk menunjukkan kekuasaan Allah swt terhadap para hamba-hambaNya, sekaligus menjelaskan cinta dan kasih sayangnya secara nyata.

Dari segi syariat, Adam as telah melakukan kesalahan atau dosa karena melanggar perintah Allah swt, melalui rekayasa syetan yang terus menggodanya. Tetapi dari segi hakikat, sesungguhnya peristiwa turunnya Adam ke muka bumi merupakan bentuk dari ketidakberdayaan hamba di hadapan Allah swt. Persdpektif hakikat ini, harus dipandang secara hakiki pula, dimana hal-hal yang bersifat akal rasional harus ditepiskan. Tetapi harus dipahami menurut kecerdasan ruhani kita, dengan memandfang peristiwa tersebut dari dimensi Ilahiyah.

Sebab dalam peristiwa itu terkandung beberapa hikmah yang agung:


  1. Tanpa turunnya Adam as, ke muka bumi, kita semua tidak mungkin ada, dan Nabi Muhammad saw, yang menjadi pusat gravitasi cahaya yang melahirkan makhluk-makhluk di jagad semesta juga tidak mungkin ada.
  2. Manusia dan hamba adalah tempat salah dan dosa. Klaim seorang hamba mendapatkan atau bisa melakukan sebuah kebenaran adalah mustahil. Karena itu, kebenaran pasti dari Allah Ta’ala, dan kesalahan pasti dari manusia. Seseorang mendapatkan kebenaran semata karena hidayah Allah pada hamba tersebut, selebihnya, jika manusia berjalan dengan sendirinya, ia justru akan meraih kegelapan demi kegelapan.
  3. Sebesar apa pun dosa seorang hamba, jika sang hamba kembali bertobat kepada Allah swt, niscaya akan diterima taubatnya, dan ia akan lahir kembali dengan bimbingan Allah Ta’ala. Dosa Adam as, adalah dosa terbesar jika dibandingkan dengan seluruh dosa-dosa hamba Allah, maka dosa Adam adalah dosa terbesar. Allah masih mengampuni kecuali jika sang hamba musyrik, lalu tidak kembali pada jalan Allah Ta’ala.
  4. Di bumi, manusia senantiasa berjalan di dunia dzulumat atau kegelapan. Kegelapan itulah sumber ketakutan dan kegelisahan yang sesungguhnya. Maka siapa pun yang mengalami kegelisahan dan ketakutan, sesungguhnya ada segumpal kegelapan pada dirinya. Yang menghapus kegelapan adalah Cahaya Allah yang menyinari bumi, hingga melahirkan petunjuk yang benar.
  5. Sebaliknya, mereka yang enggan dan kafir terhadap petunjuk Allah ia akan terlepar dalam kegelapannya sendiri, yaitu neraka kekal yang ada di depannya.


Pertarungan selanjutnya adalah pertarungan antara gelap dan terang. Di tengah-tengah pertarungan itu muncullah nafsu yang senantiasa ditunggangi syetan, agar manusia terus terseret oleh kegelapan itu sendiri.

Nafsu adalah produk dfari pertemuan antara ruh dan jasad dunia, yang secara alamiyah memiliki kecvenderungan merusak lingkungan dan menumpahkan darah. Dari potensi-potensi nafsu itulah muncul apa yang disebut dengan dimensi-dimensi akhlak madzmumat atau mdzlumat yang sangat negatif. Tetapi manusia juga memiliki dimensi Ilahiyah yang kelak melahirkan al-akhlaqul mahmudah., yang mendorong manusia itu terus menerus berbuat positip.

Dalam perspektif Sufi, manusia lebih baik melihat dimensi-dimensi negatif dirinya, cacat-cacat jiwanya, perilaku buruknya, ketimbang menyelami rahasia positipnya, bahkan rahasia Ilahiyah dibalik dimensi spiritualnya. Sebab ketika manusia mengenal kelemahan, cacat, kezaliman dirinya, ia akan menyadari betapa penbtingnya pembersihan jiwa. Ketika manusia melakukan proses pembersihan jiwa itulah proses positip secara ruhani otomatis masuk dalam ruhaninya.

Rahasia-rahasia Ilahiyah akan tersingkap begitu saja, manakala jiwa-jiowa kita siap menerimanya, memantulkan cermin cahaya Iolahiyah itu. Tetapi segalanya malah akan gagal, seterang apa pun cahaya itu, manakala mosaik cermin kita mengalami keburaman. Sehingga kebenaran dan nilai-nilai keagungan Ilahiyah tidak tampak dalam pantulan hidayah jiwanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar