Jalan Yang Lurus Itu......
"Tunjukkanlah kami kejalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat"
Maksudnya tetapkanlah kami ke jalan hidayah, dan tempatkanlah kami dalam istiqamah dijalan kesatuan (wahdah).
Jalan istiqamah di dalam kesatuan (wahdah) adalah jalan orang-orang yang
dilimpahi nikmat dan karunia Allah melalui kenikmatan tertentu yang
sangat khusus, yaitu nikmat rahimiyyah (nikmat Allah di akhirat) atau
nikmat kasih sayang, yaitu nikmat ma'rifat dari nikmat mahabbah.
Sedangkan
keteguhan hidayah itu adalah hidayah hakiki dan bersifat substantif
yang diberikan pada para nabi dan syuhada, shiddiqin dan auliya, yaitu
mereka yang menyaksikan-Nya pada Yang Maha Awal dari MahaAkhir, Dhahir
dan Bathin, di mana mereka telah sirna dalam penyaksiannya dengan
munculnya Wajah Yang Abadi dari segala wujud pandang yang fana’ atau
sirna.
Jalan inilah yang ditempuh para sufi. Jalan hakikat. jalan
"menyatu" dengan Allah, yang diteguhkan oleh kenyataan dan kebenaran,
bahwa yang ada hanyalah Allah, yang abadi hanyalah Wajah Allah, dan
segala hal selain Allah adalah batil dan hancur.
Jalan menuju
kepada Allah, sebagaimana terlimpahkan kepada para nabi dan rasul, wali
dan syuhada yang senantiasa menyaksikan Allah di mana-mana dan tidak di
mana-mana. .Penyaksian ubudiyah hamba terhadap Rububiyahnya Allah.
Respon yang interaktif dan terus-menerus serta tidak putus dengan-Nya,
yang kelak sirna dan tenggelam dalam samudera ma‘rifah dan mahabbah.
Mereka
yang telah menyaksikan Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Maha Dhahir
dan Maha Bathin adalah cermin dari sikap kepasrahan total hamba-Nya.
Sebagaimana dinyatakan oleh Sulthanul Auliya Syeikh Abul Hasan
Asy-Syadzily:
"Iman adalah engkau bersaksi bahwa keawalan hamba
bersama ke-Awalan-Nya, keakhiran hamba bersama ke-Akhiran-Nya,
kedhahiranmu bersama ke-Dhahiran-Nya dan bathiniyahmu bersama
ke-Bathinan-Nya."
"Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai"
Orang-orang
yang dimurkai di sini adalah mereka yang senantiasa terpaku pada dunia
empiris, dunia eksoterik, dan bahkan mereka terhijab oleh nikmat duniawi
dan nikmat jasmani. Mereka mendapatkan rasa terdalarnnya melalui rasa
fisik,jauh dari rasa ruhani yang hakiki, jauh dari kenikmatan kalbu dan
kenikmatan akal, sebagaimana dirasakan orang-orang Yahudi, karena dakwah
mereka hanya terpaku pada hal-hal empirik (lahiriah) dan kenikmatan
syurgawi belaka,janji-janji tentang bidadari dan istana, sehingga mereka
mendapatkan kemurkaan Allah. Amarah dan murka itulah yang menyebabkan
mereka terlempar jauh, dan akhimya hanya bersiteguh dengan hal-hal yang
tampak fenomenal belaka. Padahal itu semua merupakan hijab kegelapan
yang menyeramkan, yang begitu curam dan jauh.
"Bukan pula jalannya orang-orang yang tersesat"
Orang-orang
yang tersesat di sini, secara sufistik adalah mereka yang berteguh
dalam dunia kebathinan, yang sesungguhnya adalah hijab yang bersifat
kecahayaan. Mereka terhijabkan oleh nikmat keakhiratan, dan terjauhkan
dari nikmat keduniaan. Lalu mereka alpa akan sifat Dhahirnya Allah, dan
mereka tersesat dari jalan yang lurus.
Mereka tertutupi oleh
penyaksian Kemahaindahan Sang Kekasih secara keseluruhan, sebagaimana
dialami kaum Nashrani. Karena dakwah mereka hanya kepada hal-hal
kebathinan saja, mengajak tenggelam ke alam cahaya kegelapan.
Sedangkan
dakwah Nabi Muhammad SAW adalah dakwah secara menyeluruh, dhahir dan
bathin. Yaitu dakwah yang integratif dan universal antara mahabbah
Kamahaindahan Dzat dan Kebajikan Sifat-sifat sebagaimana terdapat dalam
Al-Qur’ an:
"Bersegeralah pada ampunan dari Tuhanmu, dan syurga."
Suatu dakwah yang senantiasa tidak memihak antara satu dengan yang lain, dhahir dan bathin.
Karena
itu, misi Rasul selain bersifat perjuangan membebaskan diri dari
belenggu empirisme juga bebas dari hijab spiritualisme. Yang berarti
bagaimana konsentrasi pada Wajah Ilahi, sehingga menimbulkan interaksi
horisontal dan sekaligus vertikal.
Kita senantiasa berdoa agar
diri kita tidak terjebak oleh kesesatan lahiriah dengan segala titik
pandangnya, termasuk cara memandang terhadap ajaran keagamaan yang hanya
terpaku pada konteks lahiriahnya tekstualisme. Tetapi kita juga jangan
sampai terjebak oleh kecahayaan ruhani yang mempesona, yang melenakan
pada tujuan utama kita, yaitu menuju kepada Allah. Di sinilah integrasi
antara syari'at dengan hakikat melalui tarekat sufi.
Syari'at
adalah bentuk cara kita menyembah kepada Allah, sedangkan tarekat adalah
cara kita menuju kepada Allah. Sementara hakikat adalah bagaimana kita
menyaksikan Allah. Amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar