Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tiada
doa kecuali terdapat hijab di antaranya dengan di antara langit, hingga
bershalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka apabila
dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab dan diterimalah doa tersebut,
namun jika tidak demikian, kembalilah doa itu kepada pemohonnya“.
Bahkan berdoa hanya dengan bertawassul dengan sholawat dapat
terpenuhi segala keinginan karena pada hakikatnya Allah Maha Mengetahui.
Ubayy bin Ka’ab Al-Anshary ra, berkata, “Jika seperempat malam telah
berlalu, Rasulullah saw biasanya bangun seraya berseru, “Hai manusia!
Ingatlah kepada Allah, karena hari kiamat pasti akan tiba. Mati dan
misteri di balik itu pun akan datang.” Ubay bertanya, “Ya Rasulullah,
aku senantiasa membaca shalawat untukmu. Sebaiknya, berapa banyak lagi
aku membaca shalawat untukmu? Nabi menjawab, “Terserah kamu.” Ubay
bertanya lagi, “Bagaimana kalau seperempat waktu dari setiap hariku?”
Nabi menjawab, “Terserah. Jika kamu tambah, itu lebih baik.” Ubay
melanjutkan bertanya, “Sepertiga?” Nabi lagi-lagi menjawab, “Terserah.
Jika kamu tambah, itu lebih baik.” Ubay kembali bertanya, “Setengah?”
Nabi menjawab, “Sesukamu, jika ditambah akan lebih baik.” Ubay bertanya
lagi, “Bagaimana jika kutambah dua pertiga?” Nabi menjawab, “Terserah.
Jika kamu tambah lebih baik.” Ubay melanjutkan, “Ya Rasulullah, akan
kugunakan seluruh hariku untuk bershalawat kepadamu.” Nabi menjawab,
“Kalau begitu, keinginanmu akan dicukupi dan dosamu akan diampuni Allah
Subhanau wa Ta’ala.”
Para Sahabat ketika duduk dalam shalat (tahiyyat), bertawasul dengan
menyebut nama-nama orang-orang sholeh yang telah wafat maupun dengan
para malaikat namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajarkan
untuk menyingkatnya menjadi “Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish
shoolihiin”, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba Allah yang
sholeh baik di langit maupun di bumi“
Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh telah menceritakan
kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Al A’masy dia berkata;
telah menceritakan kepadaku Syaqiq dari Abdullah dia berkata; Ketika
kami membaca shalawat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
maka kami mengucapkan: ASSALAAMU ‘ALALLAHI QABLA ‘IBAADIHI, ASSALAAMU
‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA
FULAAN (Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Allah, semoga keselamatan
terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan). Ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam selesai melaksanakan shalat, beliau
menghadapkan wajahnya kepada kami dan bersabda: Sesungguhnya Allah
adalah As salam, apabila salah seorang dari kalian duduk dalam shalat
(tahiyyat), hendaknya mengucapkan; AT-TAHIYYATUT LILLAHI WASH-SHALAWAATU
WATH-THAYYIBAATU, ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA
BARAKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN,
(penghormatan, rahmat dan kebaikan hanya milik Allah. Semoga
keselamatan, rahmat, dan keberkahan tetap ada pada engkau wahai Nabi.
Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih).
Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh
hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi, lalu
melanjutkan; ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN
‘ABDUHU WA RASUULUH (Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah
selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya). Setelah itu ia
boleh memilih do’a yang ia kehendaki. (HR Bukhari 5762)
Dalam hadits di atas , Rasulullah bersabda “Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi“
Jadi pada kenyataannya setiap muslim, setiap hari selalu bertawassul
dengan penduduk langit yakni bertawassul dengan muslim yang sudah wafat
dan meraih manzilah (maqom/derajat) disisiNya beserta para malaikat
dengan mengucapkan “ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH
SHAALIHIIN”
Kaum muslim yang sudah wafat dan meraih manzilah (maqom/derajat)
disisiNya mereka mendapatkan karunia ni’mat dan hidup sebagaimana para
syuhada
Firman Allah ta’ala yang artinya
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di
jalan Allah (syuhada), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya)
mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )
”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan
Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan
mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)
“Orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah adalah: Para nabi,
para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-orang shalih, mereka itulah
sebaik-baik teman“. (QS An Nisaa [4]: 69)
Kaum muslim yang meraih manzilah (maqom/derajat) disisiNya maka mereka menjadi penduduk langit serupa dengan para malaikat
Peristiwa Mi’raj Nabi Sayyidina Muhammad shallallahu alaihi wasallam
melintasi tingkatan langit di alam malakut adalah untuk memperlihatkan
kedudukan Beliau di hadapan penduduk langit dan Beliau adalah makhluk
Allah yang paling utama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “kami meneruskan
perjalanan sehingga sampai di langit keenam, lalu aku menemui Nabi Musa
dan memberi salam kepadanya. Dia segera menjawab, ‘Selamat datang wahai
saudara yang dan nabi yang shalih.’ Ketika aku meningalkannya, dia terus
menangis. Lalu dia ditanya, ‘Apakah yang menyebabkan kamu menangis? ‘
dia menjawab, ‘Wahai Tuhanku! Kamu telah mengutus pemuda ini setelahku,
tetapi umatnya lebih banyak memasuki Surga daripada umatku” (HR Muslim
238)
Penduduk langit selalu bertasbih kepada Allah
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah, Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Hadid [57]:1)
Penduduk langit juga bisa menyaksikan hamba-hamba kekasih Tuhan di bumi sebagaimana dinyatakan Rasulullah, “Sesungguhnya
para penghuni langit mengenal penghuni bumi yang selalu mengingat dan
berzikir kepada Allah bagaikan bintang yang bersinar di langit.”
Dalam Al Qur’an dinyatakan dalam ayat, “Untuk mereka kabar gembira waktu mereka hidup di dunia dan di akhirat.” (QS Yunus/10:64).
Para ulama tafsir mengomentari ayat ini sesuai dengan pengalaman
sahabat Nabi Muhammad, Abu Darda’, yang menanyakan apa maksud ayat ini.
Rasulullah menjelaskan, “Yang dimaksud ayat ini ialah mimpi baik yang dilihat atau diperlihatkan Allah Subhanahu wa ta’ala kepadanya.” Dalam ayat lain lebih jelas lagi Allah berfirman, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.” (QS al-Zumar [39]:42).
Penduduk langit dapat bertemu dengan manusia yang masih hidup
Abdullah Ibnu Abbas r.a. pernah berkata, “ruh orang tidur dan ruh
orang mati bisa bertemu diwaktu tidur dan saling berkenalan sesuai
kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang menggenggam ruh manusia pada dua keadaan, pada keadaan tidur
dan pada keadaan matinya.”
Penduduk langit dapat mendengar dan mengetahui keadaan manusia yang masih hidup dan dapat mendoakan mereka
Dari Tsabit Al Bunani dari Anas bin Malik Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam meninggalkan jenazah perang Badar tiga kali, setelah
itu beliau mendatangi mereka, beliau berdiri dan memanggil-manggil
mereka, beliau bersabda: Hai Abu Jahal bin Hisyam, hai Umaiyah bin
Khalaf, hai Utbah bin Rabi’ah, hai Syaibah bin Rabi’ah, bukankah kalian
telah menemukan kebenaran janji Rabb kalian, sesungguhnya aku telah
menemukan kebenaran janji Rabbku yang dijanjikan padaku. Umar mendengar
ucapan nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, ia berkata: Wahai Rasulullah,
bagaimana mereka mendengar dan bagaimana mereka menjawab, mereka telah
menjadi bangkai? Beliau bersabda: Demi Dzat yang jiwaku berada
ditanganNya, kalian tidak lebih mendengar ucapanku melebihi mereka,
hanya saja mereka tidak bisa menjawab. (HR Muslim 5121)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.
“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat
kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal
perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka
aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan
kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh
Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu
alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan
mengkategorikannya sebagai hadits shahih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات فإن كان خيرا
استبشروا، وإن كان غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا)
“Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan
keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik,
maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu,
maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai
Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan
hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
(ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عليه إلا استأنس ورد عليه حتي يقوم)
“Tidak seorangpun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk
kepadanya (untuk mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan
menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
(ما من أحد يمربقبر أخيه المؤمن كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا عَرَفَهُ ورد عليه السلام)
“Tidak seorang pun melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang
dia kenal selama hidup di dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan
salam untuknya, kecuali dia mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.” (Hadis Shahih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid)
Begitupula sebagaimana yang terlukis pada Tafsir Ibnu Katsir pada ( QS An Nisaa [4] : 64 ) Scan kitab tafsir dapat dibaca pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/09/ikjuz5p281_285.pdf diriwayatkan bagaimana seorang bertawassul dengan mengucapkan sholawat yang artinya “Hai
sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung,
maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan
pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi
penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan
kemuliaan.“
Berikut kutipannya
**** awal kutipan *****
Al-Atabi ra menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat kubur
Nabi Shallallahu alaihi wasallam, datanglah seorang Arab Badui, lalu ia
mengucapkan, “Assalamu’alaika, ya Rasulullah (semoga kesejahteraan
terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah). Aku telah mendengar Allah
ta’ala berfirman yang artinya, ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika
menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai
Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang‘ (QS An-Nisa: 64),
Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada
Allah) dan meminta syafaat kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan
bagiku) kepada Tuhanku.”
Kemudian lelaki Badui tersebut mengucapkan syair berikut , yaitu:
“Hai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung,
maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan
pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi
penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan
kemuliaan.“
Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur.
Dalam tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi shallallahu alaihi
wasallam., lalu beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hai Atabi,
susullah orang Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya
bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya!”
***** akhir kutipan *****
Adz-Dzahabi; dalam karyanya; Siyar A’lam an-Nubala’, jld. 9, cet. 9,
tentang biografi Imam Ma’ruf al-Karkhi; beliau adalah Abu Mahfuzh
al-Baghdadi. Dari Ibrahim al-Harbi berkata: “Makam Imam Ma’ruf al-Karkhi
adalah obat yang paling mujarab”. Adz-Dzahabi berkata: “Yang dimaksud
ialah terkabulnya doa di sana yang dipanjatkan oleh orang yang tengah
kesulitan, oleh karena tempat-tempat yang berkah bila doa dipanjatkan di
sana akan terkabulkan, sebagaimana terkabulkannya doa yang dipanjatkan
di waktu sahur (sebelum subuh), doa setelah shalat-shalat wajib, dan doa
di dalam masjid-masjid……”.
Siyar A’lam an-Nubala’, jld. 12, cet. 14, tentang biografi Imam
al-Bukhari (penulis kitab Shahih); beliau adalah Abu Abdillah Muhammad
ibn Isma’il ibn Ibrahim al-Bukhari, dalam menceritakan tentang wafatnya.
simak tulisan adz-Dzahabi berikut ini: “Abu ‘Ali al-Gassani berkata:
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu al-Fath Nasr ibn al-Hasan as-Sakti
as-Samarqandi; suatu ketika dalam beberapa tahun kami penduduk Samarqand
mendapati musim kemarau, banyak orang ketika itu telah melakukan shalat
Istisqa’, namun hujan tidak juga turun. Kemudian datang seseorang yang
dikenal sebagai orang saleh menghadap penguasa Samarqand, ia berkata:
“Saya punya pendapat maukah engkau mendengarkannya? Penguasa tersebut
berkata: “Baik, apa pendapatmu?”. Orang saleh berkata: “Menurutku engkau
harus keluar bersama segenap manusia menuju makam Imam Muhammad ibn
Isma’il al-Bukhari, makam beliau berada di Kharatnak, engkau berdoa
meminta hujan di sana, dengan begitu semoga Allah menurunkan hujan bagi
kita”. Sang penguasa berkata: “Aku akan kerjakan saranmu itu”. Maka
keluarlah penguasa Samarqand tersebut dengan orang banyak menuju makam
Imam al-Bukhari, banyak sekali orang yang menangis di sana, mereka semua
meminta tolong kepada Imam al-Bukhari. Kemudian Allah menurunkan hujan
yang sangat deras, hingga orang-orang saat itu menetap di Kharatnak
sekitar tujuh hari, tidak ada seorangpun dari mereka yang dapat pulang
ke Samarqand karena banyak dan derasnya hujan. Jarak antara Samarqand
dan Kharatnak sekitar tiga mil”
Para Sahabat , bertawassul dan bertabarruk ke makam Rasulullah
sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu katsir dalam kitab tarikhnya
7/105: “Berkata al hafidz Abu Bakar al Baihaqi, telah menceritakan Abu
Nashar bin Qutadah dan Abu bakar al Farisi, mereka berdua berkata: telah
menceritakan kepada kami Abu Umar bin Mathor, telah menceritakan kepada
kami Ibrahim bin Ali Addzahli, telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Yahya, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘Amasy dari
Abi Shalih dari Malik Ad Daar Ia berkata, “Orang-orang mengalami kemarau
panjang saat pemerintahan Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke
makam Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan berkata “Ya Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka
telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi bertemu Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam dan dikatakan kepadanya “datanglah kepada
Umar dan ucapkan salam untuknya beritahukan kepadanya mereka semua akan
diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya “bersikaplah bijaksana,
bersikaplah bijaksana”. Maka laki-laki tersebut menemui Umar dan
menceritakan kepadanya akan hal itu. Kemudian Umar berkata “Ya Tuhanku
aku tidak melalaikan urusan umat ini kecuali apa yang aku tidak mampu
melakukannya” (Sanadnya shahih adalah penetapan dari Ibnu katsir. Malik
adalah Malik Ad Daar dan ia seorang bendahara gudang makanan pada
pemerintahan Umar,ia adalah tsiqoh)
Al hafidz Ibnu Hajar al Asqolani dalam fathul bari juz 2 pada kitab
aljumah bab sualun nas al imam idza qohathu”, Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dengan sanad yang shahih dari riwayat Abu Shalih As Saman dari
Malik Ad Daar seorang bendahara Umar. Ia berkata “Orang-orang mengalami
kemarau panjang saat pemerintahan Umar. Kemudian seorang laki-laki
datang ke makam Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan berkata “Ya
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mintakanlah hujan untuk umatmu
karena mereka telah binasa datanglah kepada Umar dst..dan laki2 itu
adalah Bilal bin Haris al Muzani”.
Mereka meneladani ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang berprasangka
buruk kepada kaum muslim yang berziarah kubur sambil berdoa kepada Allah
ta’ala dengan bertawassul kepada ahli kubur sebagai penyembah kuburan
sebagaimana yang dapat kita ketahui pada syarah Qawa’idul ‘Arba karya
ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang ditulis oleh ulama Sholih Fauzan
Al-Fauzan pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/03/pemahaman-tauhid-maw.pdf
Kitab rujukan mereka tersebut sebagian besar isinya adalah ayat-ayat
yang diturunkan bagi orang-orang kafir disalahgunakan untuk menyerang
kaum muslim
Hal ini mengingatkan kita kepada ciri-ciri orang-orang seperti Dzul
Khuwaishirah dari Bani Tamim an Najdi atau khawarij yang mempergunakan
ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir untuk menyerang
orang-orang beriman
Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat: kitab Sahih Bukhari jilid:4 halaman:197]
Contohnya mereka mengatakan bahwa mereka melakukan jihad menegakkan
tauhid kemudaian berdalil dengan firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang
yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
“Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang
kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata
antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai
kamu beriman kepada Allah saja…” (QS Al-Mumtahanah [60]:4)
(QS Al-Mumtahanah [60]:4) adalah perkataan bagi orang-orang kafir bukan perkataan bagi manusia-manusia yang telah bersyahadat
Salah satu gurunya ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yakni Syaikh
Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat berisi nasehat
bahwa yang dilarang adalah meyakini orang ditawassuli atau
di-istighotsahi bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah”
“Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah
lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang
meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa
kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa
selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia
menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau
mengkafirkan As-Sawadul A’zham (kelompok mayoritas) diantara kaum
muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang
menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia
tidak mengikuti jalan muslimin.”
Kaum muslim yang berdoa kepada Allah ta’ala dengan bertawassul pada
ahli kubur yang dekat dengan Allah ta’ala, mereka berdoa dan beribadah
kepada Allah bukan meminta kepada ahli kubur atau menyembah kuburan.
Kaum muslim yang berdoa kepada Allah ta’ala dengan bertawassul pada
ahli kubur yang dekat dengan Allah ta’ala, mereka sangat paham dan yakin
bahwa yang mengabulkan doa mereka hanyalah Allah Azza wa Jalla bukan
ahli kubur yang mereka tawassulkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar