Bahasa tulisan maupun lisan, ibarat teko hanya akan mengeluarkan isi
yang ada. Kalau di dalamnya air bersih maka yang keluar bersih dan
sebaliknya kalau di dalamnya air kotor maka yang keluar adalah kotoran
Imam Syafi’i ra menyatakan bahwa “orang yang berakhlak buruk itu
seperti pantatnya dandang (tempat menanak nasi) yang hitam. Dia hitam,
dan dia ingin menempelkannya ke kulit kita. Kalau kita terpancing, maka
yang hitam itu menjadi dua. Jadi kalau sampai kita sadar bahwa ada
ruhani yang tidak stabil, dan kita terpancing untuk tidak stabil, maka
sesungguhnya yang terjadi adalah dua ketidakstabilan, karena kita
terpancing“.
Ibarat peribahasa atau nasehat orang tua terdahulu “air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga” artinya akhlak buruk yang mereka perlihatkan mengikuti apa yang mereka jadikan teladan.
Oleh karenanya jangan ikuti ulama yang mereka ikuti dan teladani yang membuat mereka berakhlak buruk.
Akhlak buruk dapat ditimbulkan dari hasutan atau ghazwul fikri
(perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi bahwa “Tuhan adalah jauh” bertentangan dengan firmanNya yang artinya “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat”. (QS Al Baqarah [2]:186 ).
Mereka terindoktrinisasi bahwa Tuhan bertempat di suatu tempat yang
jauh mengikuti aqidah Fir’aun sebagaimana yang telah diuraikan dalam
tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/09/14/terhasut-aqidah-firaun/
Sehingga mereka secara psikologis atau alam bawah sadar mereka
menjauhkan diri dari Allah atau berpaling dari Allah sehingga
terbentuklah akhlak yang buruk
Akhlak yang buruk adalah mereka yang tidak takut kepada Allah atau
mereka yang berpaling dari Allah atau menjauhkan diri dari Allah karena
mereka memperturutkan hawa nafsu.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26)
“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh
tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk
orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )
Alangkah malangnya bagi yang menuntut ilmuNya memperlakukannya
seperti ilmu-ilmu lainnya untuk sekedar dapat membaca atau mengetahui
atau memahami Al Qur’an dan As Sunnah atau bertujuan untuk menjadi guru
agama sebagai bekal kehidupan di dunia.
Tujuan menuntut ilmuNya adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah ta’ala
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa
yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak
bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Semakin banyak mengenal Allah (ma’rifatullah) melalui ayat-ayat-Nya
qauliyah dan kauniyah, maka semakin dekat hubungan dengan-Nya. Ilmu
harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi
sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu
(ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan
Allah ta’ala semakin dekat sehingga meraih maqom disisiNya.
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi
semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka
semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Tujuan beragama adalah untuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Imam Sayyidina Ali ra berpesan, “Allah subhanahu wa ta’ala telah
menjadikan akhlak mulia sebagai perantara antara Dia dan hambaNya. Oleh
karena itu,berpeganglah pada akhlak, yang langsung menghubungkan anda
kepada Allah”
Salah satu tanda yang utama dari seorang muslim yang dekat dengan
Allah adalah berakhlakul karimah sehingga akan berkumpul dengan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para Nabi, para Shiddiqin dan
Syuhada
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya
tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan
mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang
dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan
(menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu
mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka
pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling
baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu
akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah,
yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada
Allah sehingga meraih maqom disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali
Allah) adalah shiddiqin, muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah
dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat.
Bermacam-macam tingkatan shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam
tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah
Muslim yang bermakrifat atau muslim yang menyaksikan Allah ta’ala
dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini
kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu
yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan
ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan
menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat
ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid
(penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ
عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَآهُ بِقَلْبِهِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah
menceritakan kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu
Abbas dia berkata, “Beliau telah melihat dengan mata hatinya.” (HR Muslim 257)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah
engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab:
“Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda
melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang,
tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Jika belum dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat maka yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu
takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya
(bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka
sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi
oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan
hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga
mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari
perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga dia
dekat dengan Allah ta’ala karena berakhlakul karimah meneladani manusia
yang paling mulia Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar